Sudah 2 Hari Melemah, IHSG Kini Masih Terjebak di Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 June 2019 09:42
Sudah 2 Hari Melemah, IHSG Kini Masih Terjebak di Zona Merah
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencoba bangkit setelah terkoreksi selama 2 hari beruntun. Pada pembukaan perdagangan Jumat ini (21/6/2019), indeks acuan bursa saham Indonesia tersebut membukukan apresiasi sebesar 0,12% ke level 6.343,48.

Sayang, penguatan IHSG tak berlangsung lama. Pada pukul 09:30 WIB, IHSG ditransaksikan melemah 0,08% ke level 6.330,49.

Kinerja IHSG belum dengan mayoritas bursa saham kawasan Asia yang juga ditransaksikan menguat kecuali indeks Nikkei yang turun 0,20% dan Kospi minus 0,09% pada pukul 09.38 WIB. Indeks Hang Seng menguat 0,01% pada periode yang sama, indeks Straits Times juga naik 0,08%.

Angin segar yang dibawa oleh bank sentral AS tampak sudah tak ampuh dalam mengerek kinerja bursa saham utama kawasan Asia.


Maklum, penguatan yang dibukukan pada perdagangan kemarin (20/6/2019) sudah signifikan sehingga aksi ambil untung dilakukan pada hari ini. Alhasil, IHSG juga menjadi sulit untuk bangkit.

Pada perdagangan kemarin, indeks Nikkei ditutup naik 0,6%, indeks Shanghai naik 2,38%, indeks Hang Seng naik 1,23%, indeks Straits Times naik 0,8%, dan indeks Kospi naik 0,31%.

Sebagai informasi, pada Rabu (19/6/2019) waktu setempat atau Kamis (20/6/2019) dini hari waktu Indonesia, The Federal Reserve mengumumkan bahwa tingkat suku bunga acuan dipertahankan di level 2,25%-2,5%.

Namun, The Fed memberi sinyal yang kuat bahwa akan ada pemangkasan dalam waktu dekat. Dalam konferensi pers usai rapat, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa prospek perekonomian AS pada dasarnya masih bagus, akan tetapi ada risiko yang semakin meningkat seperti friksi dagang AS dengan sejumlah negara yang membuat investasi melambat.

Selain itu, ada pula risiko perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang dan investasi AS.

"Pertanyaannya adalah, apakah risiko-risiko ini akan membebani prospek perekonomian? Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters.

Kini, pelaku pasar meyakini bahwa gelombang pertama pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan dimulai pada bulan depan.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 20 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan Juli berada di level 76%. Sementara itu, peluang suku bunga acuan diturunkan hingga 50 bps berada di level 24%.

LANJUT KE HALAMAN 2>>

Dari dalam negeri, pelaku pasar terus merespons negatif hasil pertemuan Bank Indonesia (BI). BI menggelar rapat selama 2 hari yang dimulai pada hari Rabu dan berakhir kemarin.

Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.

Sejatinya, keputusan ini sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang juga memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan belum akan diutak-atik dalam pertemuan bulan ini.

Dari 11 ekonom yang kami survei, sebanyak empat di antaranya memproyeksikan pemangkasan sebesar 25 bps, sementara sisanya memandang bahwa 7-Day Reverse Repo Rate masih akan ditahan di level 6%.


Namun, hal yang paling ditunggu pelaku pasar adalah kisi-kisi dari BI terkait dengan peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke depannya. Pasalnya, seperti yang sudah disebutkan di atas, The Fed sudah mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga acuan bisa dipangkas nantinya.

Sayang, ternyata BI masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.

“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).

Memang, ada stimulus yang diberikan oleh bank sentral. BI memutuskan untuk menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) untuk bank umum menjadi 6%, dari yang sebelumnya 6,5%. Sementara itu, GWM untuk bank syariah juga dipangkas sebesar 50 bps menjadi 4,5%, dari yang sebelumnya 5%.

Penurunan ini akan efektif berlaku pada 1 Juli 2019 dan disebut oleh BI akan menambah likuiditas perbankan senilai Rp 25 triliun.

“Rp 25 triliun ini kita akan nambah ke bank dan salurkan untuk kredit dan nambah perekonomian,” kata Perry.

Agaknya, pelonggaran rasio GWM tersebut dianggap belum akan cukup kuat untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia, mengingat di sisi lain peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan masih terbilang kecil.

Alhasil, aksi jual terus dilakukan oleh pelaku pasar saham tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular