
Sempat Hijau, IHSG Kok Sekarang Merah?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2019 11:08

Sayang, sentimen positif yang datang dari AS tersebut tak bertahan lama dalam mendongkrak kinerja IHSG. Pasalnya, sikap dari Bank Indonesia (BI) hingga saat ini belum jelas. Pada hari siang hari ini, BI dijadwalkan merilis suku bunga acuan.
Memang kalau dilihat dari kacamata perekonomian, Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Perekonomian Indonesia saat ini sedang loyo, tak mampu tumbuh sesuai target, baik itu target dari para ekonom maupun target dari pemerintah sendiri.
Sedikit mundur ke 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Namun, ada faktor yang membuat langkah BI menjadi sulit dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, yakni defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan koponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, defisit transaksi berjalan periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
Guna mencegah pelemahan rupiah, salah satu caranya adalah menahan tingkat suku bunga acuan di level yang relatif tinggi. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Perry. Dirinya menyebut bahwa NPI menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral kala ingin memangkas tingkat suku bunga acuan.
"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry.
Sikap dari BI yang belum jelas ini membuat investor bermain aman dengan meninggalkan pasar saham Indonesia. Sebagai informasi, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7-Day Reverse Repo Rate masih akan ditahan di level 6% dalam pertemuan bulan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank)
Memang kalau dilihat dari kacamata perekonomian, Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Perekonomian Indonesia saat ini sedang loyo, tak mampu tumbuh sesuai target, baik itu target dari para ekonom maupun target dari pemerintah sendiri.
Sedikit mundur ke 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Namun, ada faktor yang membuat langkah BI menjadi sulit dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, yakni defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan koponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, defisit transaksi berjalan periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
Guna mencegah pelemahan rupiah, salah satu caranya adalah menahan tingkat suku bunga acuan di level yang relatif tinggi. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Perry. Dirinya menyebut bahwa NPI menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral kala ingin memangkas tingkat suku bunga acuan.
"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry.
Sikap dari BI yang belum jelas ini membuat investor bermain aman dengan meninggalkan pasar saham Indonesia. Sebagai informasi, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7-Day Reverse Repo Rate masih akan ditahan di level 6% dalam pertemuan bulan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank)
Pages
Most Popular