Sempat Hijau, IHSG Kok Sekarang Merah?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2019 11:08
Sempat Hijau, IHSG Kok Sekarang Merah?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,11%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kini justru terjebak di zona merah. Pada pukul 10:35 WIB, IHSG ditransaksikan melemah 0,01% ke level 6.338,44.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan bursa saham utama kawasan Asia yang justru sedang nyaman melenggang di zona hijau. Indeks Nikkei 225 naik 0,61%, Shanghai Composite naik 1,04%, Hang Seng naik 0,8%, Straits Times naik 0,72%, dan Kospi naik 0,03%.

Sikap dovish yang ditunjukkan oleh The Federal Reserves/The Fed selaku bank sentral AS sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Dini hari tadi waktu Indonesia, The Fed mengumumkan bahwa tingkat suku bunga acuan dipertahankan di level 2,25%-2,5%.

Namun, The Fed memberi sinyal yang kuat bahwa akan ada pemangkasan dalam waktu dekat. Dalam konferensi pers usai rapat, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa prospek perekonomian AS pada dasarnya masih bagus, akan tetapi ada risiko yang semakin meningkat seperti friksi dagang AS dengan sejumlah negara yang membuat investasi melambat. Selain itu, ada pula risiko perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang dan investasi AS.

"Pertanyaannya adalah, apakah risiko-risiko ini akan membebani prospek perekonomian? Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters.

Kini, pelaku pasar meyakini bahwa gelombang pertama pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan dimulai pada bulan depan. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 19 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan Juli berada di level 71,9%. Sementara itu, peluang suku bunga acuan diturunkan hingga 50 bps berada di level 28,1%.

Potensi pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi hal yang sangat positif lantaran diharapkan bisa menghindarkan perekonomian Negeri Paman Sam dari perlambatan yang signifikan.

Bank Dunia memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sayang, sentimen positif yang datang dari AS tersebut tak bertahan lama dalam mendongkrak kinerja IHSG. Pasalnya, sikap dari Bank Indonesia (BI) hingga saat ini belum jelas. Pada hari siang hari ini, BI dijadwalkan merilis suku bunga acuan.

Memang kalau dilihat dari kacamata perekonomian, Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Perekonomian Indonesia saat ini sedang loyo, tak mampu tumbuh sesuai target, baik itu target dari para ekonom maupun target dari pemerintah sendiri.

Sedikit mundur ke 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Namun, ada faktor yang membuat langkah BI menjadi sulit dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, yakni defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.

Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan koponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Pada 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, defisit transaksi berjalan periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.




Guna mencegah pelemahan rupiah, salah satu caranya adalah menahan tingkat suku bunga acuan di level yang relatif tinggi. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Perry. Dirinya menyebut bahwa NPI menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral kala ingin memangkas tingkat suku bunga acuan.

"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry.

Sikap dari BI yang belum jelas ini membuat investor bermain aman dengan meninggalkan pasar saham Indonesia. Sebagai informasi, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7-Day Reverse Repo Rate masih akan ditahan di level 6% dalam pertemuan bulan ini.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular