
Sebulan Terakhir Masih Cuan 1,1%, Tapi Rupiah Rawan Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 June 2019 08:30

Sepertinya aksi ambil untung (profit taking) masih mendera rupiah. Memang benar rupiah sudah melemah kemarin, bahkan menjadi mata uang terlemah di Asia.
Namun itu belum cukup. Dalam sebulan terakhir, rupiah masih menguat 1,11%. Artinya masih ada keuntungan yang bisa dicairkan oleh investor kapan saja. Gerak rupiah akan selalu dibayangi oleh profit taking.
Selain itu, rilis data cadangan devisa kemarin juga rasanya masih terngiang di benak pelaku pasar. Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa pada Mei sebesar US$ 120,3 miliar. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 124,3 miliar.
Cadangan devisa yang anjlok US$ 4 miliar tersebut tampaknya membuat investor cemas. Meski masih memadai, tetapi amunisi BI untuk melakukan stabilisasi nilai tukar menjadi lebih terbatas. Kekhawatiran investor mengenai nasib rupiah ke depan membuat aset-aset berbasis mata uang ini mengalami tekanan jual.
Sementara dari sisi eksternal, dolar AS memang sedang menguat setelah tertekan cukup lama. Pada pukul 08:16 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,02%.
Dolar AS memang masih punya ruang untuk terapresiasi. Dalam sebulan terakhir, Dollar Index masih terkoreksi 0,55%. Dolar AS masih relatif murah sehingga menggoda untuk dibeli.
Namun sepertinya penguatan dolar AS hanya riak-riak saja, sesuatu yang lebih karena faktor technical rebound. Sebab secara fundamental, mata uang ini tidak punya pijakan yang kuat.
Aura penurunan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam semakin kuat setelah data-data ekonomi yang mengecewakan. Pada Mei, inflasi impor di AS turun 0,3% month-on-month (MoM). Ini merupakan penurunan pertama sejak Desember 2018.
Kemudian secara year-on-year (YoY), inflasi impor terkontraksi 1,5%. Kontraksi ini menjadi yang paling dalam sejak Agustus 2016.
Perlambatan inflasi impor menunjukkan kelesuan di tingkat konsumen. Mulai terlihat ada perlambatan konsumsi sehingga dunia usaha pun ragu menaikkan harga produk yang didatangkan dari luar negeri.
Situasi ini membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan memulai siklus pemangkasan Federal Funds Rate dengan menurunkan 25 basis poin (bps) pada bulan depan. Probabilitas suku bunga acuan AS berada di 2-2,25% pada Juli mencapai 64%.
Penurunan suku bunga akan membuat imbalan berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (terutama yang berpendapatan tetap) menjadi kurang menarik. Akibatnya dolar AS masih akan dihantui oleh aksi pelepasan, sehingga nilai tukarnya rentan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Namun itu belum cukup. Dalam sebulan terakhir, rupiah masih menguat 1,11%. Artinya masih ada keuntungan yang bisa dicairkan oleh investor kapan saja. Gerak rupiah akan selalu dibayangi oleh profit taking.
Cadangan devisa yang anjlok US$ 4 miliar tersebut tampaknya membuat investor cemas. Meski masih memadai, tetapi amunisi BI untuk melakukan stabilisasi nilai tukar menjadi lebih terbatas. Kekhawatiran investor mengenai nasib rupiah ke depan membuat aset-aset berbasis mata uang ini mengalami tekanan jual.
Sementara dari sisi eksternal, dolar AS memang sedang menguat setelah tertekan cukup lama. Pada pukul 08:16 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,02%.
Dolar AS memang masih punya ruang untuk terapresiasi. Dalam sebulan terakhir, Dollar Index masih terkoreksi 0,55%. Dolar AS masih relatif murah sehingga menggoda untuk dibeli.
Namun sepertinya penguatan dolar AS hanya riak-riak saja, sesuatu yang lebih karena faktor technical rebound. Sebab secara fundamental, mata uang ini tidak punya pijakan yang kuat.
Aura penurunan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam semakin kuat setelah data-data ekonomi yang mengecewakan. Pada Mei, inflasi impor di AS turun 0,3% month-on-month (MoM). Ini merupakan penurunan pertama sejak Desember 2018.
Kemudian secara year-on-year (YoY), inflasi impor terkontraksi 1,5%. Kontraksi ini menjadi yang paling dalam sejak Agustus 2016.
Perlambatan inflasi impor menunjukkan kelesuan di tingkat konsumen. Mulai terlihat ada perlambatan konsumsi sehingga dunia usaha pun ragu menaikkan harga produk yang didatangkan dari luar negeri.
Situasi ini membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan memulai siklus pemangkasan Federal Funds Rate dengan menurunkan 25 basis poin (bps) pada bulan depan. Probabilitas suku bunga acuan AS berada di 2-2,25% pada Juli mencapai 64%.
Penurunan suku bunga akan membuat imbalan berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (terutama yang berpendapatan tetap) menjadi kurang menarik. Akibatnya dolar AS masih akan dihantui oleh aksi pelepasan, sehingga nilai tukarnya rentan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular