Jakarta, CNBC Indonesia - Selepas membukukan penguatan dalam dalam 4 hari perdagangan terakhir,
pada hari ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya terkulai. Hingga akhir sesi 1, IHSG melemah 0,56% ke level 6.270,69.Wajar jika aksi jual menerpa bursa saham tanah air. Pasalnya jika dihitung, penguatan IHSG dalam periode 4 hari perdagangan terakhir mencapai 4,52%.
Walaupun dalam beberapa hari terakhir IHSG sudah melesat, ternyata jika dihitung sejak awal tahun, performa IHSG terbilang mengecewakan. Memang, sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan kemarin, 11/6/2019) IHSG masih bisa membukukan apresiasi, yakni sebesar 1,8%.
Namun, jika dibandingkan dengan indeks saham negara-negara lain di kawasan Asia, IHSG berada di posisi dua dari bawah. Kinerja IHSG hanya lebih baik ketimbang KLCI yang merupakan indeks saham acuan di bursa saham Malaysia.
Faktor domestik menjadi faktor utama di balik mengecewakannya kinerja IHSG sepanjang 2019. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perekonomian Indonesia tumbuh 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal I-2019. Walaupun sedikit lebih tinggi dibandingkan capaian kuartal I-2018 yang sebesar 5,06% YoY, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 jauh lebih rendah jika dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang sebesar 5,19% YoY.
Sebelumnya, gelaran pemilihan umum pada April diproyeksikan akan mendongkrak konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun, hal ini ternyata tak terjadi.
Selama ini, konsumsi rumah tangga memegang peranan yang besar dalam perekonomian Indonesia. Bahkan, pos tersebut membentuk lebih dari 50% perekonomain Indonesia. Pada 2018, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian Indonesia adalah sebesar 55,7%, menjadikannya pos dengan kontribusi terbesar. Di posisi 2, ada investasi yang berkontribusi sebesar 32,3%. Di posisi 3, ada ekspor (barang dan jasa) yang berkontribusi sebesar 21%.
Memang, konsumsi rumah tangga mampu membukukan pertumbuhan sebesar 5,01% secara tahunan pada kuartal I-2019, jauh mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 4,95% saja. Namun, lemahnya pertumbuhan pada pos-pos lain membuat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menjadi rendah.
Investasi misalnya, hanya tumbuh 5,03% YoY, jauh lebih rendah ketimbang pertumbuhan pada periode kuartal I-2018 yang sebesar 7,95%. Kemudian, ekspor barang dan jasa justru tercatat jatuh sebesar 2,08% YoY pada tiga bulan pertama tahun ini. Padahal pada tiga bulan pertama di 2018, ekspor barang dan jasa melejit hingga 6,17% YoY. Selain itu, suramnya prospek rupiah ikut membuat bursa saham tanah air tak mampu menyaingi kinerja bursa saham negara-negara tetangga. Suramnya prospek rupiah datang seiring dengan defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) yang kemungkinan masih akan dalam pada 2019.
Bank Indonesia (BI) mencatat, CAD periode kuartal I-2019 adalah US$ 7 miliar, atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal I-2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
Jika CAD pada awal tahun saja sudah lebih dalam, ada kemungkinan bahwa CAD untuk keseluruhan pada 2019 juga akan lebih dalam dari tahun 2018 yang sebesar 2,98% dari PDB.
Apalagi, neraca dagang barang (yang merupakan komponen dari transaksi berjalan) membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019. Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada April 2019 merupakan yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Kala rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs. Akibatnya, aksi jual mereka lakukan di pasar saham tanah air. Tak tanggung-tanggung, sepanjang tahun ini investor asing sempat keluar selama 16 hari beruntun dari pasar saham Indonesia (pasar reguler), yakni pada periode 3 Mei-24 Mei. Jika dihitung, nilai jual bersih investor asing pada periode tersebut adalah senilai Rp 10,9 triliun.
Jika dilihat dari kacamata ekonomi, pelemahan rupiah akan berdampak negatif bagi Indonesia lantaran barang-barang impor menjadi kian mahal. Investor (domestik dan asing) yang ingin menanamkan dananya di sektor riil juga bisa jadi dibuat berpikir 2 kali sebelum masuk ke tanah air. Ujung-ujungnya, apa lagi akibatnya kalau bukan pertumbuhan ekonomi akan menjadi semakin lemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA