
Ekonomi Indonesia Kuat, Tapi Rentan Digoyang Investor Asing!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 June 2019 18:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar mengejutkan datang menyelimuti pasar keuangan dunia di tengah-tengah libur panjang yang dinikmati oleh pelaku pasar keuangan Indonesia. Melalui publikasi Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis Selasa (4/6/2019) malam waktu setempat atau Rabu dini hari waktu Indonesia, Bank Dunia (World Bank) memutuskan memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi global.
Lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), tersebut kini memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya akan tumbuh 2,6% pada tahun ini, dari yang sebelumnya 2,9% pada proyeksi yang dibuat di Januari.
Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global tersebut disebabkan oleh lesunya arus perdagangan internasional. Dalam publikasinya, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan perdagangan global menjadi hanya 2,6%, dari yang sebelumnya 3,6%. Jika proyeksi tersebut terealisasi, maka akan menjadi yang terlemah dalam satu dekade terakhir atau sejak krisis keuangan global.
Namun yang melegakan, ternyata proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tak diutak-atik oleh Bank Dunia. Memang tak dikerek naik, namun juga tak dikerek turun. Hal ini bisa dibilang membanggakan lantaran negara-negara tetangga diganjar pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh Bank Dunia.
Namun, Bank Dunia memberikan catatan bagi Indonesia. Lembaga itu menyebut bahwa perekonomian negara-negara kawasan Asia Timur & Pasifik rentan terhadap risiko-risiko yang datang dari perubahan signifikan di pasar keuangan global.
"Banyak negara memiliki berbagai macam sumber kerentanan, termasuk tingkat utang yang tinggi (China, Laos, Malaysia, Mongolia, Vietnam), defisit fiskal yang besar (Kamboja, Laos, Mongolia, Vietnam), atau ketergantungan yang besar terhadap aliran modal (asing) yang bergejolak (Kamboja, Indonesia)," tulis Bank Dunia dalam publikasinya.
"Kerentanan di beberapa negara kawasan Asia Timur & Pasifik dapat memperparah dampak dari tekanan eksternal, seperti berhentinya aliran modal (asing) atau kenaikan biaya pinjaman," lanjut Bank Dunia.
Indonesia memang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap arus modal investor asing. Melansir publikasi yang diterbitkan oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per April 2019 investor asing tercatat menguasai sebesar 53% dari total saham yang tercatat di KSEI.
Sementara untuk obligasi, melansir publikasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, investor asing menguasai sebesar Rp 951 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan senilai Rp 2.498,3 triliun atau setara dengan 38,07%.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Di satu sisi, masyarakat Indonesia wajib bangga dengan besarnya porsi kepemilikan investor asing di pasar saham dan obligasi. Hal tersebut menggambarkan optimisme investor asing terhadap perekonomian Indonesia. Pengakuan bagi Indonesia tersebut sejatinya diberikan juga oleh Bank Dunia dengan keputusannya yang tak memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Namun di sisi lain, besarnya porsi kepemilikan investor asing di pasar saham dan obligasi bisa menjadi sumber masalah. Pasalnya, aliran modal investor asing di pasar saham dan obligasi bisa keluar dengan begitu cepat. Oleh karena itulah aliran modal tipe ini sering disebut dengan istilah hot money. Bisa cepat masuk, namun keluarnya juga bisa cepat.
Perekonomian riil dipengaruhi betul oleh aliran modal investor asing di pasar modal, baik itu saham maupun obligasi. Ketika investor asing masuk ke Indonesia, mereka akan menukarkan mata uang asing seperti dolar AS yang dimilikinya menjadi rupiah lantaran saham dan obligasi di Indonesia hanya bisa dibeli dengan mata uang rupiah (kecuali obligasi berdenominasi mata uang asing; nilainya kecil).
Nah, ketika mereka membawa keluar dananya dari Indonesia, rupiah akan kembali dikonversikan menjadi dolar AS. Hukum permintaan dan penawaran berbicara di sini. Permintaan atas dolar AS meningkat, mendorong nilainya naik (dolar AS terapresiasi dan rupiah melemah).
Pelemahan rupiah akan berdampak negatif bagi Indonesia lantaran barang-barang impor menjadi kian mahal. Investor (domestik dan asing) yang ingin menanamkan dananya di sektor riil juga bisa jadi dibuat berpikir 2 kali sebelum masuk ke tanah air. Ujung-ujungnya, apa lagi akibatnya kalau bukan pertumbuhan ekonomi menjadi lemah.
Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan investor asing terhadap Indonesia harus dijaga betul. Dengan adanya aliran modal yang dibawa investor asing ke Indonesia, pemerintah dan korporasi menjadi mendapatkan suntikan modal yang bisa digunakan untuk melakukan ekspansi dan semakin memacu roda perekonomian.
Namun ketika investor asing kecewa, ya itu tadi, rupiah akan ‘dihukum’ dan roda perekonomian akan tersendat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Ini Biang Kerok yang Bikin Ekonomi RI cuma Tumbuh 3,51% di Q3
Lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), tersebut kini memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya akan tumbuh 2,6% pada tahun ini, dari yang sebelumnya 2,9% pada proyeksi yang dibuat di Januari.
Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global tersebut disebabkan oleh lesunya arus perdagangan internasional. Dalam publikasinya, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan perdagangan global menjadi hanya 2,6%, dari yang sebelumnya 3,6%. Jika proyeksi tersebut terealisasi, maka akan menjadi yang terlemah dalam satu dekade terakhir atau sejak krisis keuangan global.
Namun, Bank Dunia memberikan catatan bagi Indonesia. Lembaga itu menyebut bahwa perekonomian negara-negara kawasan Asia Timur & Pasifik rentan terhadap risiko-risiko yang datang dari perubahan signifikan di pasar keuangan global.
"Banyak negara memiliki berbagai macam sumber kerentanan, termasuk tingkat utang yang tinggi (China, Laos, Malaysia, Mongolia, Vietnam), defisit fiskal yang besar (Kamboja, Laos, Mongolia, Vietnam), atau ketergantungan yang besar terhadap aliran modal (asing) yang bergejolak (Kamboja, Indonesia)," tulis Bank Dunia dalam publikasinya.
"Kerentanan di beberapa negara kawasan Asia Timur & Pasifik dapat memperparah dampak dari tekanan eksternal, seperti berhentinya aliran modal (asing) atau kenaikan biaya pinjaman," lanjut Bank Dunia.
Indonesia memang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap arus modal investor asing. Melansir publikasi yang diterbitkan oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per April 2019 investor asing tercatat menguasai sebesar 53% dari total saham yang tercatat di KSEI.
Sementara untuk obligasi, melansir publikasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, investor asing menguasai sebesar Rp 951 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan senilai Rp 2.498,3 triliun atau setara dengan 38,07%.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Di satu sisi, masyarakat Indonesia wajib bangga dengan besarnya porsi kepemilikan investor asing di pasar saham dan obligasi. Hal tersebut menggambarkan optimisme investor asing terhadap perekonomian Indonesia. Pengakuan bagi Indonesia tersebut sejatinya diberikan juga oleh Bank Dunia dengan keputusannya yang tak memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Namun di sisi lain, besarnya porsi kepemilikan investor asing di pasar saham dan obligasi bisa menjadi sumber masalah. Pasalnya, aliran modal investor asing di pasar saham dan obligasi bisa keluar dengan begitu cepat. Oleh karena itulah aliran modal tipe ini sering disebut dengan istilah hot money. Bisa cepat masuk, namun keluarnya juga bisa cepat.
Perekonomian riil dipengaruhi betul oleh aliran modal investor asing di pasar modal, baik itu saham maupun obligasi. Ketika investor asing masuk ke Indonesia, mereka akan menukarkan mata uang asing seperti dolar AS yang dimilikinya menjadi rupiah lantaran saham dan obligasi di Indonesia hanya bisa dibeli dengan mata uang rupiah (kecuali obligasi berdenominasi mata uang asing; nilainya kecil).
Nah, ketika mereka membawa keluar dananya dari Indonesia, rupiah akan kembali dikonversikan menjadi dolar AS. Hukum permintaan dan penawaran berbicara di sini. Permintaan atas dolar AS meningkat, mendorong nilainya naik (dolar AS terapresiasi dan rupiah melemah).
Pelemahan rupiah akan berdampak negatif bagi Indonesia lantaran barang-barang impor menjadi kian mahal. Investor (domestik dan asing) yang ingin menanamkan dananya di sektor riil juga bisa jadi dibuat berpikir 2 kali sebelum masuk ke tanah air. Ujung-ujungnya, apa lagi akibatnya kalau bukan pertumbuhan ekonomi menjadi lemah.
Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan investor asing terhadap Indonesia harus dijaga betul. Dengan adanya aliran modal yang dibawa investor asing ke Indonesia, pemerintah dan korporasi menjadi mendapatkan suntikan modal yang bisa digunakan untuk melakukan ekspansi dan semakin memacu roda perekonomian.
Namun ketika investor asing kecewa, ya itu tadi, rupiah akan ‘dihukum’ dan roda perekonomian akan tersendat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Ini Biang Kerok yang Bikin Ekonomi RI cuma Tumbuh 3,51% di Q3
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular