
Hingga Mei, IHSG Kalah Cuan dari Bursa Tetangganya
tahir saleh & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 June 2019 11:12

Lesunya kinerja IHSG sepanjang 5 bulan pertama tahun ini disebabkan oleh fundamental perekonomian Indonesia yang lemah.
Pada awal bulan Mei, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal-I 2019, sedikit lebih tinggi dibandingkan capaian kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% YoY.
Namun tetap saja, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Sebelumnya, gelaran Pemilihan Umum pada 17 April lalu diproyeksikan akan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi. Namun, hal ini ternyata tak terjadi.
Kemudian, lemahnya fundamental perekonomian Indonesia juga ditunjukkan oleh angka defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa CAD periode kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
Akibatnya, rupiah menjadi babak belur. Jika dihitung dari titik terkuatnya di tahun ini di level Rp 13.917/dolar AS yang dicapai pada tanggal 6 Februari, rupiah sudah melemah hingga 2,54% di pasar spot per akhir Mei menjadi Rp 14.270/dolar AS.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada kuartal-II 2019, tampaknya CAD masih akan dalam. Pasalnya, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019.
Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada April 2019 merupakan yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.
Kalau neraca dagang (yang merupakan komponen dari transaksi berjalan) saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu CAD akan sulit diredam. Ada kemungkinan, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam dibandingkan CAD untuk keseluruhan tahun 2018 yang sebesar 2,98% dari PDB.
Pelemahan rupiah pada akhirnya menyurutkan minat investor untuk masuk ke pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank)
Pada awal bulan Mei, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal-I 2019, sedikit lebih tinggi dibandingkan capaian kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% YoY.
Namun tetap saja, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Kemudian, lemahnya fundamental perekonomian Indonesia juga ditunjukkan oleh angka defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa CAD periode kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
![]() |
Akibatnya, rupiah menjadi babak belur. Jika dihitung dari titik terkuatnya di tahun ini di level Rp 13.917/dolar AS yang dicapai pada tanggal 6 Februari, rupiah sudah melemah hingga 2,54% di pasar spot per akhir Mei menjadi Rp 14.270/dolar AS.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada kuartal-II 2019, tampaknya CAD masih akan dalam. Pasalnya, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019.
Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada April 2019 merupakan yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.
Kalau neraca dagang (yang merupakan komponen dari transaksi berjalan) saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu CAD akan sulit diredam. Ada kemungkinan, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam dibandingkan CAD untuk keseluruhan tahun 2018 yang sebesar 2,98% dari PDB.
Pelemahan rupiah pada akhirnya menyurutkan minat investor untuk masuk ke pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank)
Pages
Most Popular