Hingga Mei, IHSG Kalah Cuan dari Bursa Tetangganya

tahir saleh & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 June 2019 11:12
Hingga Mei, IHSG Kalah Cuan dari Bursa Tetangganya
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan terakhir saham di bulan Mei baru saja selesai digelar pada Jumat lalu (31/5/2019). Jika dihitung dari awal tahun hingga akhir Mei, bursa saham Indonesia menunjukkan kinerja yang positif; Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat sebesar 0,24%.

Namun sayang, jika dibandingkan dengan bursa saham negara-negara Asia lain, cuan yang diberikan IHSG bisa dibilang begitu kecil.

Bahkan jika diurutkan, IHSG berada di posisi tiga dari bawah. Kinerja IHSG hanya lebih baik dari indeks Kospi yang naik tipis 0,03% dan indeks KLCI (Malaysia) yang jatuh 2,36%.



Mayoritas bursa saham kawasan Asia menunjukkan performa yang menggembirakan dalam 5 bulan pertama tahun ini seiring dengan kehadiran sentimen positif yang salah satunya adalah terkait normalisasi suku bunga acuan oleh The Federal Reserve.

Berbicara mengenai normalisasi suku bunga acuan oleh The Fed, pelaku pasar justru kini begitu yakin bahwa yang akan terjadi bukanlah kenaikan tingkat suku bunga acuan, namun justru pemangkasan.

Pasalnya, perekonomian AS ternyata tak panas-panas amat. Beberapa hari yang lalu, pembacaan kedua untuk angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 3,1% (quarterly annualized).

Memang lebih tinggi dibandingkan konsensus yang dihimpun Dow Jones sebesar 3%, namun lebih rendah ketimbang angka pada pembacaan awal yang sebesar 3,2%.


Untuk tahun 2019, perekonomian AS juga diproyeksikan melambat jika dibandingkan tahun 2019. Belum lama ini, International Monetary Fund (IMF) memutuskan untuk merevisi ke bawah proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi AS tahun 2019.

Kini, IMF memproyeksikan perekonomian AS hanya akan tumbuh sebesar 2,3% pada tahun ini, turun dari proyeksi yang dibuat pada bulan Januari yang sebesar 2,5%.

Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun lalu. Jika proyeksi dari IMF menjadi kenyataan, bisa dikatakan bahwa perekonomian AS mengalami hard landing pada tahun ini.

Hingga Mei, IHSG Kalah Cuan dari Bursa TetangganyaFoto: Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde berbicara saat pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di Aula Besar Rakyat di Beijing, Tiongkok, (24/4/2019). (Parker Song/Pool via REUTERS)

Kala perekonomian lesu bahkan sampai mengalami hard landing, tentu urgensi bagi bank sentral untuk melanjutkan normalisasi tingkat suku bunga acuan menjadi berkurang lantaran tekanan terhadap inflasi juga akan mereda.

Saat ini saja, inflasi di AS sudah terbilang rendah. Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi ada di level 2%.

Untuk data teranyar yakni periode April 2019, Core PCE price index tercatat hanya tumbuh sebesar 1,6% YoY, jauh di bawah target The Fed.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 1 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini berada di level 23,8%.

Untuk pemangkasan sebesar 50 bps, probabilitasnya bahkan mencapai 36,1%. Sementara itu, probabilitas bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipertahan di level 2,25%-2,5% sepanjang tahun ini hanya sebesar 5,9%.



Di tengah sinyal perlambatan ekonomi global yang begitu nyata terlihat, tentu tingkat suku bunga acuan di level yang relatif rendah dianggap sebagai opsi terbaik oleh pelaku pasar saham.

LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>

Lesunya kinerja IHSG sepanjang 5 bulan pertama tahun ini disebabkan oleh fundamental perekonomian Indonesia yang lemah.

Pada awal bulan Mei, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal-I 2019, sedikit lebih tinggi dibandingkan capaian kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% YoY.

Namun tetap saja, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Sebelumnya, gelaran Pemilihan Umum pada 17 April lalu diproyeksikan akan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi. Namun, hal ini ternyata tak terjadi.

Kemudian, lemahnya fundamental perekonomian Indonesia juga ditunjukkan oleh angka defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa CAD periode kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Hingga Mei, IHSG Kalah Cuan dari Bursa TetangganyaFoto: Gubernur BI Perry Warjiyo (CNBC Indonesia/ Lidya J Kembaren)

Akibatnya, rupiah menjadi babak belur. Jika dihitung dari titik terkuatnya di tahun ini di level Rp 13.917/dolar AS yang dicapai pada tanggal 6 Februari, rupiah sudah melemah hingga 2,54% di pasar spot per akhir Mei menjadi Rp 14.270/dolar AS.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.


Pada kuartal-II 2019, tampaknya CAD masih akan dalam. Pasalnya, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019.

Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada April 2019 merupakan yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.

Kalau neraca dagang (yang merupakan komponen dari transaksi berjalan) saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu CAD akan sulit diredam. Ada kemungkinan, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam dibandingkan CAD untuk keseluruhan tahun 2018 yang sebesar 2,98% dari PDB.

Pelemahan rupiah pada akhirnya menyurutkan minat investor untuk masuk ke pasar saham tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular