Mata Uang Asia Lesu, Kok Rupiah Melaju?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 May 2019 12:23
Mata Uang Asia Lesu, <i>Kok</i> Rupiah Melaju?
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun gerak rupiah sama sekali tidak dinamis, anteng sejak pembukaan pasar hingga tengah hari. 

Pada Jumat (31/5/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.375. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Kenaikan Yesus Kristus. 

Posisi rupiah tidak bergerak sejak pembukaan pasar. Anteng saja di Rp 14.375/US$. 

Baca:
Rupiah Menguat di Kurs Tengah BI, Anteng di Pasar Spot

Ada empat kemungkinan mengapa rupiah masih menguat dan stabil di angka tersebut. Pertama, aktivitas di pasar valas memang sedang sepi karena hari ini adalah Hari Kejepit Nasional (Harpitnas). Kemudian, hari ini juga menjadi perdagangan terakhir sebelum libur Idul Fitri sepekan penuh. 

Tubuh fisik pelaku pasar ada di depan layar komputer, tetapi tubuh astral mereka mungkin sudah di tempat lain. Di kampung halaman, tempat liburan di luar kota, atau lokasi plesiran di luar negeri. Ini membuat perdagangan kurang bergairah sehingga posisi rupiah tidak dinamis. 


Kedua, ada rilis data ekonomi yang positif di Indonesia. Angka Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia versi Nikkei/Markit pada Mei tercatat 51,6. Ini merupakan angka tertinggi sejak Agustus 2018. 

 

Angka di atas 50 menunjukkan dunia usaha optimistis dan siap berekspansi. Ditambah lagi angka Mei menjadi yang tertinggi dalam sembilan bulan terakhir. Artinya, industri manufaktur Indonesia punya prospek yang cerah.

Industri manufaktur adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi lapangan usaha dengan kontribusi sekitar 20%.
 Jadi ke depan ada harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan kinclong. Harapan ini yang membawa investor berkenan untuk mengoleksi rupiah sehingga nilainya menguat. 

Ketiga, perkembangan harga minyak masih suportif terhadap rupiah. Pada pukul 12:20 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terkoreksi masing-masing 1,27% dan 1,02%.

Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah sebuah berkah. Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak. Mau tidak mau, suka tidak suka, yang namanya impor minyak adalah wajib, harus, dan kudu karena produksi dalam negeri belum kunjung memadai untuk memenuhi permintaan. 

Jika harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Tekanan yang dialami neraca perdagangan dan transaksi berjalan tidak begitu berat, karena devisa yang 'terbakar' akibat impor minyak lebih sedikit. Rupiah pun jadi punya fondasi yang lebih kuat sehingga bisa terapresiasi.

Kemungkinan keempat, Bank Indonesia (BI) aktif 'bergerilya' di pasar valas dan obligasi negara. Intervensi BI membuat rupiah stabil, tidak seperti mata uang utama Asia lainnya yang melemah di hadapan dolar AS. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 12:13 WIB: 





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pelemahan mata uang Asia disebabkan oleh sentimen negatif dari panasnya perang dagang AS-China. Kini Beijing yang berbalik galak, dengan menegaskan siap menghadapi AS di arena perang dagang. 

"Kami menolak perang dagang, tetapi kami tidak takut untuk berperang. Provokasi yang dilakukan AS nyata-nyata adalah sebuah terorisme ekonomi, chauvinisme ekonomi, dan penindasan ekonomi," tegas Zhang Hanhui, Wakil Menteri Luar Negeri China, mengutip Reuters. 

Perang dagang AS-China akan mempengaruhi kelancaran rantai pasok global. Arus perdagangan dan investasi global akan tersendat sehingga menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. 


Kemudian, rilis data terbaru di China juga menjadi pemberat langkah mata uang Asia. Tidak seperti Indonesia, PMI manufaktur di Negeri Tirai Bambu malah melemah. Pada Mei, PMI manufakur China versi National Bureau of Statistics berada di 49,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,1. 

 

Skor di bawah 50 menandakan dunia usaha yang pesimistis. Perang dagang dengan AS (walau pemerintah bilang tidak takut) ternyata begitu memukul pengusaha. Pemesanan baru, ekspor, kapasitas produksi, sampai pembukaan lapangan kerja semuanya menurun. 

China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga masalah yang dialami China tentu akan mempengaruhi kinerja satu benua. Risiko perlambatan ekonomi China yang semakin nyata membuat investor mundur teratur sehingga melemahkan mata uang Asia.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular