Jokowi 2 Periode, Rupiah Melemah 2 Hari Beruntun

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 May 2019 16:33
Jokowi 2 Periode, Rupiah Melemah 2 Hari Beruntun
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Ternyata pengumuman hasil Pemilu 2019 tidak mampu mendorong rupiah ke zona hijau. 

Pada Selasa (21/5/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.475 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Ini membuat rupiah melemah selama dua hari beruntun. Kemarin, rupiah melemah tipis 0,03%.

Kala pembukaan pasar, rupiah masih belum melemah meski tidak menguat juga. Stagnan saja di Rp 14.450/US$. 

Namun tidak terlalu lama, rupiah terjerumus ke zona merah. Perlahan, depresiasi rupiah semakin dalam dan zona hijau terasa begitu jauh. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Sejatinya rupiah punya alasan untuk menguat. Sebab mata uang Tanah Air justru terapresiasi di perdagangan pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Biasanya gerak pasar NDF searah dengan pasar spot, tetapi hari ini sepertinya tidak demikian. 

PeriodeKurs 20 Mei (15:58 WIB)Kurs 21 Mei (16:19 WIB)
1 PekanRp 14.528,9Rp 14.506,5
1 BulanRp 14.622,4Rp 14.592
2 BulanRp 14.703,8Rp 14.675,5
3 BulanRp 14.797,4Rp 14.764,5
6 BulanRp 15.019.9Rp 14.999,5
9 BulanRp 15.227,9Rp 15.198,5
1 TahunRp 15.422,4Rp 15.399,5
2 TahunRp 16.106Rp 16.106

Sebenarnya memang ada sentimen positif yang bisa mendukung penguatan rupiah. Dini hari tadi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 dengan raihan suara 55,5%. Unggul dibandingkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno (44,5%). 

Meski Prabowo tidak terima dengan hasil tersebut dan akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi Jokowi sudah menginjakkan satu kaki di Istana Negara untuk kembali menjadi presiden. Artinya kemungkinan arah kebijakan pemerintah dalam lima tahun ke depan tidak akan berubah signifikan. 

Kepastian ini semestinya menjadi sentimen positif bagi rupiah. Namun ternyata mata uang Tanah Air justru melemah. Apa yang terjadi? 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor eksternal dan domestik masih menjadi beban rupiah. Dari sisi eksternal, rupiah tidak melemah sendirian di Asia. Ya, mayoritas mata uang utama Asia memang melemah di hadapan dolar AS. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:02 WIB: 

 

Bukan hanya di Asia, dolar AS memang sedang perkasa di dunia. Pada pukul 16:03 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,17%. 

Dolar AS diburu oleh investor yang harap-harap cemas menantikan pemilihan legislatif di Uni Eropa pada 23-26 Mei. Matteo Salvini, Wakil Perdana Menteri Italia, menilai pemilihan ini akan membawa perubahan besar di Brussel di mana akan muncul ide mengenai relaksasi fiskal. 

Italia memang sempat bermasalah dengan Uni Eropa seputar anggaran. Uni Eropa beberapa waktu lalu menolak anggaran Italia karena menilai defisit anggaran yang ditargetkan terlalu tinggi. 

Baca:
Kali Pertama dalam Sejarah, UE Tolak Anggaran Italia

"Saya rasa akan ada perubahan besar di Eropa," ujar Salvini, mengutip Reuters. 

Pelaku pasar yang wait and see melepas mata uang euro sehingga melemah sampai 0,21%. Ke mana arus modal berpindah? Tentu ke dolar AS, yang membuat nilainya menguat. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari dalam negeri, bisa jadi pelaku pasar menilai rupiah memang sudah terlalu mahal alias overvalued. Ini bisa dilihat dari fondasi penyokong rupiah yang sebenarnya rapuh. 

Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB. 

Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan (hot money) yang bisa keluar-masuk sesuka hati. Rentan sekali. 

Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Bisa jadi level Rp 14.300/US$ memang sudah terlalu mahal, sehingga rupiah layak melemah ke kisaran Rp 14.400/US$. 

Dua faktor ini ternyata mampu menutupi euforia akibat terpilih kembalinya Jokowi sebagai presiden. Tidak ada istilah Jokowi Effect bagi rupiah hari ini.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular