
Features
Gebrakan Uber di Wall Street, Kapan Giliran Go-jek & Grab?
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
20 May 2019 16:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Raut kegembiraan memancar dari wajah Chief Executive Officer (CEO) Uber, Dara Khosrowshahi, Jumat pagi itu usai kesuksesan pencatatan saham perdana perusahaan yang dipimpinnya di New York Stock Exchange (NYSE), di Wall Street, Lower Manhattan, New York City, 10 Mei 2019.
Pencatatan saham perdana itu menandai perjalanan panjang Uber, perusahaan teknologi berbasis berbagi tumpangan (ride hailing) yang berbasis di San Fransisco itu akhirnya resmi menjadi perusahaan publik usai merampungkan proses penawaran saham alias initial public offering/IPO).
"Saya tidak menyangka, perjalanan perusahaan bisa sampai pada titik ini, saya senang Uber bisa tercatat di bursa saham New York," kata Dara Khosrowshahi, dalam wawancaranya dengan CNBC International, pekan lalu.
Uber melepas 180 juta saham kepada publik dengan harga IPO US$ 45/saham. Dengan demikian, perusahaan yang melantai dengan kode saham UBER ini meraup dana segar sebesar US$ 8,1 miliar, atau setara dengan Rp 115,02 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.200/US$.
Raihan dana IPO Uber ini adalah yang terbesar ketiga di sektor teknologi setelah Facebook sebesar US$ 16 miliar pada 2012 dan Alibaba sebesar US$ 25 miliar pada 2014 silam. Artinya Alibaba masih memegang tampuk sebagai perusahaan dengan nilai IPO terbesar di jagad ini.
Uber yang didirikan Travis Kalanick dan Garrett Camp dan memulai operasionalnya pada 2009 itu membidik valuasi hingga US$ 120 miliar dengan menjadi perusahaan publik.
Padahal, jika mencermati lebih lanjut struktur keuangan perusahaan, belum bagus-bagus amat. Tahun 2018 pendapatan Uber memang naik 43% mencapai US$ 11,3 miliar dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Namun Uber belum pernah mencatatkan laba bersih. Tahun lalu, Uber mencatatkan rugi US$ 1,8 miliar. Saat ini, Uber termasuk salah satu startup Decacorn atau perusahaan rintisan dengan valuasi di atas US$10 miliar.
"Uber membidik valuasi hingga $ 120 miliar. Kisaran harga IPO yang diharapkan adalah antara U$ 44 dan U$ 50 per saham," tulis CNBC International, Jumat (10/5/2019).
Sayangnya, saat debut perdana di lantai bursa New York, saham UBER malah anjlok 7,6% ketika pasar ditutup. Pada akhir pekan lalu, saham Uber Technologies Inc ini diperdagangkan di level US$ 41,92/saham.
Valuasi Uber yang semula diestimasikan akan mencapai di atas US$ 100 miliar sudah tentu tak tercapai. Kejadian sama juga pernah dialami pesaing Uber yang lebih dulu melantai di Bursa Nasdaq, AS, yakni Lyft pada Maret lalu. Saham Lyft justru anjlok setelah IPO. Ketika itu, perusahaan yang berdiri sejak 212 itu meraup dana IPO sebesar US$ 2,34 miliar.
Lyft adalah perusahaan berbagi tumpangan paling besar kedua di Negeri Paman Sam setelah Uber dengan pangsa pasar 28%. Saat ini, valuasi perusahaan diperkirakan mencapai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 210 triliun. Dengan IPO, nilai kapitalisasi pasarnya diperkirakan meningkat menjadi US$ 25 miliar atau Rp 350 triliun.
Tidak Instan
Meski debut perdananya tidak menggembirakan, CEO Uber Dara Khosrowshahi meyakini ke depan kinerja perseroan akan tumbuh positif.
Situasi ini sama dengan Amazon yang saat go public masih mencatat kerugian, tetapi pertumbuhannya tinggi. Kala itu, para pembeli saham Amazon terjebak pada pemikiran meraup keuntungan saja dan cenderung mengabaikan potensi saham ke depan karena tidak melihat adanya keuntungan dalam waktu dekat.
Sebaliknya, para pembeli saham yang melihat pertumbuhan valuasi perusahaan dan prospek bisnis akhirnya berhasil memetik buah manis di saham Amazon setelah beberapa tahun.
"Itu akan menjadi niat kami [seperti Amazon], meskipun tidak ada jaminan," kata Khosrowshahi saat wawancara dengan CNBC International.
Sebagai perbandingan, melansir data Nasdaq, Amazon menawarkan 3 juta saham saat debut perdana pada tahun 1997, dengan harga per saham US$ 16. Raksasa e-commerce asal AS in meraih dana IPO US$ 48 juta.
Saat ini, harga saham perusahaan yang dipimpin Jeff Bezos itu diperdagangkan pada level US$ 1.870 dengan nilai kapitalisasi pasar yang cukup fantastis, US$ 920,17 miliar. Tjakepp!
Akhir pekan lalu, di Bursa Nasdaq, saham Amazon dengan kode perdagangan AMZN ini diperdagangkan di level US$ 1.866,88/saham.
Menilik fenomena tersebut, bagaimana kinerja perusahaan-perusahaan teknologi seperti Facebook dan Alibaba yang sudah lebih dulu melantai di bursa saham?
Oke mari kita lihat. Facebook yang IPO pada 2012 harga sahamnya diperdagangkan pada kisaran US$ 31/saham. Kini, harga saham perusahaan yang dikomandoi oleh Mark Zuckerberg itu sudah menyentuh US$ 185,10/saham dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar US$ 528,95 miliar.
Sementara itu, dari sisi pendapatan Facebook, sejak 2014 hingga sekarang trennya terus meningkat. Pada 2014, pendapatan Facebook mencapai US$ 12,47 miliar, kemudian meningkat setahun kemudian menjadi US$ 17,93 miliar dengan laba bersih masing-masing sebesar US$ 2,93 miliar dan US 3,67 miliar.
Terbaru, pada 2018, pendapatan Facebook secara konsolidasi mencapai US$ 55,84 miliar dengan laba bersih perusahaan pada 2018 mencapai US$ 22,11 miliar.
Kinerja yang positif juga ditunjukkan Alibaba, saat IPO sahamnya diperdagangkan pada level US$ 88,85/saham. Sekarang, harga saham perusahaan yang didirikan Jack Ma itu sudah menyentuh US$ 171,69/saham dengan nilai kapitalisasi pasar US$ 436,12 miliar.
Dari sisi pendapatan, perusahaan dengan kode saham BABA itu mencatatkan pendapatan US$ 37,76 miliar pada akhir tahun 2018 dengan perolehan laba bersih sebesar US$ 9,27 miliar. Pada saat IPO tahun 2014 silam, pendapatan BABA baru mencapai US$ 8,58 miliar dengan laba bersih US$ 3,82 miliar.
Rekomendasi Analis
Mengingat kinerja UBER maupun pesaingnya, Lyft belum menggembirakan di bursa saham AS, kolumnis MarketWatch Howard Gold mengingatkan kepada investor agar berhati-hati membeli saham keduanya. Pasalnya, dari sisi fundamental perusahaan masih mencatatkan rapor merah.
"Untuk investor individu yang mungkin tergoda dengan harapan mereka akan menjadi Amazon berikutnya, saya punya satu saran: jangan," kata Howard Gold, melansir MarketWatch, Selasa (14/5/2019). "Sebagian besar dari perusahaan-perusahaan baru ini rugi miliaran dollar, butuh bertahun-tahun bagi mereka agar bisa mencatatkan keuntungan," katanya lagi.
Howard melanjutkan, pertimbangan lainnya yakni perusahaan di sektor yang sama, Lyft, juga turun hampir 30% sejak perusahaan go public pada bulan Maret.
Namun demikian, apakah ini saat yang tepat bagi investor untuk berinvestasi di perusahaan tersebut?
T.J. van Gerven, pendiri Modern Wealth Builders juga mengingatkan bahwa orang yang berencana untuk berinvestasi di Uber pada bulan-bulan mendatang harus meredam ekspektasi mereka.
"Jika Anda pikir Anda akan membeli Uber dan Lyft, bersiaplah untuk perjalanan yang sangat bergelombang," katanya.
Walters mengatakan tahun pertama biasanya sulit bagi perusahaan yang baru ke pasar keuangan langsung mencatatkan kinerja yang positif.
"Secara historis, sebagian besar IPO memiliki kinerja yang buruk dalam 12 bulan pertama mereka karena tekanan penjualan yang signifikan dari orang dalam perusahaan, modal ventura, dan investor ekuitas swasta yang mencari untuk melikuidasi kepemilikan tidak likuid mereka," katanya.
Bagi investor lokal pun sekarang bisa berpartisipasi membeli saham perusahaan-perusahaan asing, dengan catatan, perusahaan sekuritas di Tanah Air memiliki jaringan ke bursa saham internasional seperti AS, Singapura dan sebagian di Eropa.
Informasi yang dihimpun CNBC Indonesia, saat ini salah satu sekuritas asing yang menjual saham perusahaan-perusahaan teknologi ternama dunia adalah JPMorgan. Untuk bisa membeli saham, calon investor harus melakukan registrasi terlebih dahulu baik secara daring atau datang ke kantornya di Jakarta.
Untuk pengisian dana awal sebagai persyaratan transaksi jual-beli saham, calon investor akan diinstruksikan untuk mengisi saldo di Rekening Dana Investor (RDI) yang terintegrasi dengan rekening perusahaan sekuritas. Pada prinsipnya, transaksi jual beli saham perusahaan di AS sama dengan membeli saham lokal.
Peluang Bagi Go-Jek dan Grab
Apa peluang yang bisa diambil perusahaan sejenis di Tanah Air seperti Go-Jek atau Grab? Akankah bisa menyusul langkah Uber dan Lyft menjadi perusahaan publik? CEO dan Co-Founder Grab Anthony Tan menyatakan, hingga kini Grab belum menunjukkan minatnya untuk IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam waktu dekat, kendati perusahaan sudah memiliki valuasi di atas US$ 10 miliar, atau masuk kategori Decacorn.
"Kami akan melanjutkan eksplorasi dengan partner-partner strategis untuk berinvestasi lebih lanjut ke Grab. IPO belum dibutuhkan dalam waktu dekat," kata Anthony Tan di Jakarta, Rabu (6/3/3019).
Senada dengan Grab, Go-Jek juga menyebut saat ini IPO belum menjadi prioritas utama perusahaan berbagi tumpangan yang didirikan Nadiem Makariem itu. VP Corporate Communications Gojek Kristy Nelwan mengatakan perusahaan sedang fokus memperkuat bisnis agar bisa terus memperkuat layanan di Indonesia dan di negara yang menjadi target ekspansi.
"IPO belum menjadi prioritas dalam waktu dekat. Fokus kami saat ini adalah untuk terus mengembangkan bisnis dan memperkuat layanan kepada para pengguna aplikasi kami serta terus memberikan dampak ekonomi dan sosial yang signifikan kepada mitra kami di negara-negara tempat kami beroperasi," kata Kristy dalam keterangannya.
Namun demikian, dari Uber dan proses IPO beberapa perusahaan startup global, setidaknya ada dua hal yang bisa dicermati. Pertama, memastikan tidak terjadi pemberitaan buruk atau skandal yang bisa menjadi katalis negatif bagi citra perusahaan.
Pemberitaan buruk pernah merundung Uber seperti skandal data, aksi mogok kerja dan unjuk rasa pengemudi Uber 2 hari menjelang IPO.
Kedua, perusahaan juga harus menempuh strategi bisnis yang tepat dan memberikan sinyal kepada investor bahwa mereka akan memberikan keuntungan di masa mendatang atas bisnis yang dijalankan perusahaan.
Go-Jek dan Grab sebagai aplikasi super atau superApp, memiliki banyak unit usaha bisnis sehingga bisa memberikan sinyal positif bagi investor mengenai diversifikasi pendapatan perusahaan ke depan, berbeda dengan Uber yang hanya mengandalkan layanan berbagi tumpangan.
Jadi, mari kita lihat kejutan perusahaan startup selanjutnya di pasar modal!
(tas) Next Article Duh! Baru Ditransaksikan di Wall Street, Saham Uber Anjlok 8%
Pencatatan saham perdana itu menandai perjalanan panjang Uber, perusahaan teknologi berbasis berbagi tumpangan (ride hailing) yang berbasis di San Fransisco itu akhirnya resmi menjadi perusahaan publik usai merampungkan proses penawaran saham alias initial public offering/IPO).
"Saya tidak menyangka, perjalanan perusahaan bisa sampai pada titik ini, saya senang Uber bisa tercatat di bursa saham New York," kata Dara Khosrowshahi, dalam wawancaranya dengan CNBC International, pekan lalu.
Uber melepas 180 juta saham kepada publik dengan harga IPO US$ 45/saham. Dengan demikian, perusahaan yang melantai dengan kode saham UBER ini meraup dana segar sebesar US$ 8,1 miliar, atau setara dengan Rp 115,02 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.200/US$.
Uber yang didirikan Travis Kalanick dan Garrett Camp dan memulai operasionalnya pada 2009 itu membidik valuasi hingga US$ 120 miliar dengan menjadi perusahaan publik.
Padahal, jika mencermati lebih lanjut struktur keuangan perusahaan, belum bagus-bagus amat. Tahun 2018 pendapatan Uber memang naik 43% mencapai US$ 11,3 miliar dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Namun Uber belum pernah mencatatkan laba bersih. Tahun lalu, Uber mencatatkan rugi US$ 1,8 miliar. Saat ini, Uber termasuk salah satu startup Decacorn atau perusahaan rintisan dengan valuasi di atas US$10 miliar.
"Uber membidik valuasi hingga $ 120 miliar. Kisaran harga IPO yang diharapkan adalah antara U$ 44 dan U$ 50 per saham," tulis CNBC International, Jumat (10/5/2019).
![]() |
Sayangnya, saat debut perdana di lantai bursa New York, saham UBER malah anjlok 7,6% ketika pasar ditutup. Pada akhir pekan lalu, saham Uber Technologies Inc ini diperdagangkan di level US$ 41,92/saham.
Valuasi Uber yang semula diestimasikan akan mencapai di atas US$ 100 miliar sudah tentu tak tercapai. Kejadian sama juga pernah dialami pesaing Uber yang lebih dulu melantai di Bursa Nasdaq, AS, yakni Lyft pada Maret lalu. Saham Lyft justru anjlok setelah IPO. Ketika itu, perusahaan yang berdiri sejak 212 itu meraup dana IPO sebesar US$ 2,34 miliar.
Lyft adalah perusahaan berbagi tumpangan paling besar kedua di Negeri Paman Sam setelah Uber dengan pangsa pasar 28%. Saat ini, valuasi perusahaan diperkirakan mencapai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 210 triliun. Dengan IPO, nilai kapitalisasi pasarnya diperkirakan meningkat menjadi US$ 25 miliar atau Rp 350 triliun.
![]() |
Tidak Instan
Meski debut perdananya tidak menggembirakan, CEO Uber Dara Khosrowshahi meyakini ke depan kinerja perseroan akan tumbuh positif.
Situasi ini sama dengan Amazon yang saat go public masih mencatat kerugian, tetapi pertumbuhannya tinggi. Kala itu, para pembeli saham Amazon terjebak pada pemikiran meraup keuntungan saja dan cenderung mengabaikan potensi saham ke depan karena tidak melihat adanya keuntungan dalam waktu dekat.
Sebaliknya, para pembeli saham yang melihat pertumbuhan valuasi perusahaan dan prospek bisnis akhirnya berhasil memetik buah manis di saham Amazon setelah beberapa tahun.
"Itu akan menjadi niat kami [seperti Amazon], meskipun tidak ada jaminan," kata Khosrowshahi saat wawancara dengan CNBC International.
Sebagai perbandingan, melansir data Nasdaq, Amazon menawarkan 3 juta saham saat debut perdana pada tahun 1997, dengan harga per saham US$ 16. Raksasa e-commerce asal AS in meraih dana IPO US$ 48 juta.
Saat ini, harga saham perusahaan yang dipimpin Jeff Bezos itu diperdagangkan pada level US$ 1.870 dengan nilai kapitalisasi pasar yang cukup fantastis, US$ 920,17 miliar. Tjakepp!
Akhir pekan lalu, di Bursa Nasdaq, saham Amazon dengan kode perdagangan AMZN ini diperdagangkan di level US$ 1.866,88/saham.
Menilik fenomena tersebut, bagaimana kinerja perusahaan-perusahaan teknologi seperti Facebook dan Alibaba yang sudah lebih dulu melantai di bursa saham?
Oke mari kita lihat. Facebook yang IPO pada 2012 harga sahamnya diperdagangkan pada kisaran US$ 31/saham. Kini, harga saham perusahaan yang dikomandoi oleh Mark Zuckerberg itu sudah menyentuh US$ 185,10/saham dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar US$ 528,95 miliar.
![]() |
Sementara itu, dari sisi pendapatan Facebook, sejak 2014 hingga sekarang trennya terus meningkat. Pada 2014, pendapatan Facebook mencapai US$ 12,47 miliar, kemudian meningkat setahun kemudian menjadi US$ 17,93 miliar dengan laba bersih masing-masing sebesar US$ 2,93 miliar dan US 3,67 miliar.
Terbaru, pada 2018, pendapatan Facebook secara konsolidasi mencapai US$ 55,84 miliar dengan laba bersih perusahaan pada 2018 mencapai US$ 22,11 miliar.
Kinerja yang positif juga ditunjukkan Alibaba, saat IPO sahamnya diperdagangkan pada level US$ 88,85/saham. Sekarang, harga saham perusahaan yang didirikan Jack Ma itu sudah menyentuh US$ 171,69/saham dengan nilai kapitalisasi pasar US$ 436,12 miliar.
![]() |
Dari sisi pendapatan, perusahaan dengan kode saham BABA itu mencatatkan pendapatan US$ 37,76 miliar pada akhir tahun 2018 dengan perolehan laba bersih sebesar US$ 9,27 miliar. Pada saat IPO tahun 2014 silam, pendapatan BABA baru mencapai US$ 8,58 miliar dengan laba bersih US$ 3,82 miliar.
Rekomendasi Analis
Mengingat kinerja UBER maupun pesaingnya, Lyft belum menggembirakan di bursa saham AS, kolumnis MarketWatch Howard Gold mengingatkan kepada investor agar berhati-hati membeli saham keduanya. Pasalnya, dari sisi fundamental perusahaan masih mencatatkan rapor merah.
"Untuk investor individu yang mungkin tergoda dengan harapan mereka akan menjadi Amazon berikutnya, saya punya satu saran: jangan," kata Howard Gold, melansir MarketWatch, Selasa (14/5/2019). "Sebagian besar dari perusahaan-perusahaan baru ini rugi miliaran dollar, butuh bertahun-tahun bagi mereka agar bisa mencatatkan keuntungan," katanya lagi.
Howard melanjutkan, pertimbangan lainnya yakni perusahaan di sektor yang sama, Lyft, juga turun hampir 30% sejak perusahaan go public pada bulan Maret.
Namun demikian, apakah ini saat yang tepat bagi investor untuk berinvestasi di perusahaan tersebut?
T.J. van Gerven, pendiri Modern Wealth Builders juga mengingatkan bahwa orang yang berencana untuk berinvestasi di Uber pada bulan-bulan mendatang harus meredam ekspektasi mereka.
"Jika Anda pikir Anda akan membeli Uber dan Lyft, bersiaplah untuk perjalanan yang sangat bergelombang," katanya.
Walters mengatakan tahun pertama biasanya sulit bagi perusahaan yang baru ke pasar keuangan langsung mencatatkan kinerja yang positif.
"Secara historis, sebagian besar IPO memiliki kinerja yang buruk dalam 12 bulan pertama mereka karena tekanan penjualan yang signifikan dari orang dalam perusahaan, modal ventura, dan investor ekuitas swasta yang mencari untuk melikuidasi kepemilikan tidak likuid mereka," katanya.
Bagi investor lokal pun sekarang bisa berpartisipasi membeli saham perusahaan-perusahaan asing, dengan catatan, perusahaan sekuritas di Tanah Air memiliki jaringan ke bursa saham internasional seperti AS, Singapura dan sebagian di Eropa.
Informasi yang dihimpun CNBC Indonesia, saat ini salah satu sekuritas asing yang menjual saham perusahaan-perusahaan teknologi ternama dunia adalah JPMorgan. Untuk bisa membeli saham, calon investor harus melakukan registrasi terlebih dahulu baik secara daring atau datang ke kantornya di Jakarta.
Untuk pengisian dana awal sebagai persyaratan transaksi jual-beli saham, calon investor akan diinstruksikan untuk mengisi saldo di Rekening Dana Investor (RDI) yang terintegrasi dengan rekening perusahaan sekuritas. Pada prinsipnya, transaksi jual beli saham perusahaan di AS sama dengan membeli saham lokal.
Peluang Bagi Go-Jek dan Grab
Apa peluang yang bisa diambil perusahaan sejenis di Tanah Air seperti Go-Jek atau Grab? Akankah bisa menyusul langkah Uber dan Lyft menjadi perusahaan publik? CEO dan Co-Founder Grab Anthony Tan menyatakan, hingga kini Grab belum menunjukkan minatnya untuk IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam waktu dekat, kendati perusahaan sudah memiliki valuasi di atas US$ 10 miliar, atau masuk kategori Decacorn.
"Kami akan melanjutkan eksplorasi dengan partner-partner strategis untuk berinvestasi lebih lanjut ke Grab. IPO belum dibutuhkan dalam waktu dekat," kata Anthony Tan di Jakarta, Rabu (6/3/3019).
Senada dengan Grab, Go-Jek juga menyebut saat ini IPO belum menjadi prioritas utama perusahaan berbagi tumpangan yang didirikan Nadiem Makariem itu. VP Corporate Communications Gojek Kristy Nelwan mengatakan perusahaan sedang fokus memperkuat bisnis agar bisa terus memperkuat layanan di Indonesia dan di negara yang menjadi target ekspansi.
"IPO belum menjadi prioritas dalam waktu dekat. Fokus kami saat ini adalah untuk terus mengembangkan bisnis dan memperkuat layanan kepada para pengguna aplikasi kami serta terus memberikan dampak ekonomi dan sosial yang signifikan kepada mitra kami di negara-negara tempat kami beroperasi," kata Kristy dalam keterangannya.
Namun demikian, dari Uber dan proses IPO beberapa perusahaan startup global, setidaknya ada dua hal yang bisa dicermati. Pertama, memastikan tidak terjadi pemberitaan buruk atau skandal yang bisa menjadi katalis negatif bagi citra perusahaan.
Pemberitaan buruk pernah merundung Uber seperti skandal data, aksi mogok kerja dan unjuk rasa pengemudi Uber 2 hari menjelang IPO.
Kedua, perusahaan juga harus menempuh strategi bisnis yang tepat dan memberikan sinyal kepada investor bahwa mereka akan memberikan keuntungan di masa mendatang atas bisnis yang dijalankan perusahaan.
Go-Jek dan Grab sebagai aplikasi super atau superApp, memiliki banyak unit usaha bisnis sehingga bisa memberikan sinyal positif bagi investor mengenai diversifikasi pendapatan perusahaan ke depan, berbeda dengan Uber yang hanya mengandalkan layanan berbagi tumpangan.
Jadi, mari kita lihat kejutan perusahaan startup selanjutnya di pasar modal!
(tas) Next Article Duh! Baru Ditransaksikan di Wall Street, Saham Uber Anjlok 8%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular