
Perang Dagang Hingga Defisit Dagang Bikin IHSG Jeblos 1,06%
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
16 May 2019 13:06

Jakarta,CNBC Indonesia - Pada akhir perdagangan sesi I hari ini (16/5/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) gagal move-on dan masih terjebak di zona merah dengan ditutup anjlok 1,06% ke level 5.917,79. Ini merupakan perolehan terendah semenjak 14 November tahun lalu.
Emiten-emiten yang menyumbang pelemahan IHSG termasuk PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (0,55 poin), PT Astra Internasional Tbk/ASII (0,25 poin), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (0,25 poin), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (0,12 poin), dan PT Gudang Garam Tbk/GGRM (0,11 poin)
Berbeda dengan bursa saham tanah air, indeks bursa saham utama kawasan Asia ditransaksikan bervariatif. Hingga berita ini dimuat indeks Shanghai menguat 0,18%, indeks Hang Seng naik 0,12%, indeks Nikkei terkoreksi 0,74%, sedangkan indeks Kospi anjlok 1,04%.
Tekanan dari sentimen domestik dan sentimen luar negeri terus menghantam bursa tanah air.
Berdasarkan grafik pergerakan IHSG di atas, bursa saham tanah air terjun bebas setelah perang dagang memasuki ronde baru dengan AS dan China masing-masing memutuskan untuk menaikkan bea masuk.
Pada Jumat (8/5/2019), Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.
Pemerintahan China pimpinan Xi Jinping pun memutuskan membalas, dengan mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25% pada tanggal 1 Juni mendatang.
Balas-membalas bea masuk antara AS dan China tentunya akan berdampak pada perekonomian kedua negara tersebut. Belum terekskalasi saja, rilis data ekonomi kedua negara telah tertekan.
Penjualan ritel AS bulan April turun 0,2% secara bulanan (MoM), berkebalikan dengan prediksi para ekonom yang memperkirakan ada kenaikan 0,2% (MoM).
Lebih lanjut, penjualan barang-barang ritel periode yang sama di Negeri Tirai Bambu diumumkan hanya tumbuh sebesar 7,2% secara tahunan, dan merupakan laju terendah semenjak Mei 2003. Produksi industri China periode April juga hanya tumbuh 5,4% YoY, di bawah konsensus yang dihimpun Refinitiv sebesar 6,5%.
Pelaku pasar kembali dibuat khawatir, karena fundamental dua kekuatan ekonomi terbesar dunia terus melemah dan ini tentu akan menyeret turun pertumbuhan ekonomi global. Risiko berinvestasi di bursa saham negara berkembang, termasuk Indonesia bukanlah pilihan bijak.
Emiten-emiten yang menyumbang pelemahan IHSG termasuk PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (0,55 poin), PT Astra Internasional Tbk/ASII (0,25 poin), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (0,25 poin), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (0,12 poin), dan PT Gudang Garam Tbk/GGRM (0,11 poin)
Berbeda dengan bursa saham tanah air, indeks bursa saham utama kawasan Asia ditransaksikan bervariatif. Hingga berita ini dimuat indeks Shanghai menguat 0,18%, indeks Hang Seng naik 0,12%, indeks Nikkei terkoreksi 0,74%, sedangkan indeks Kospi anjlok 1,04%.
Berdasarkan grafik pergerakan IHSG di atas, bursa saham tanah air terjun bebas setelah perang dagang memasuki ronde baru dengan AS dan China masing-masing memutuskan untuk menaikkan bea masuk.
Pada Jumat (8/5/2019), Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.
Pemerintahan China pimpinan Xi Jinping pun memutuskan membalas, dengan mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25% pada tanggal 1 Juni mendatang.
Balas-membalas bea masuk antara AS dan China tentunya akan berdampak pada perekonomian kedua negara tersebut. Belum terekskalasi saja, rilis data ekonomi kedua negara telah tertekan.
Penjualan ritel AS bulan April turun 0,2% secara bulanan (MoM), berkebalikan dengan prediksi para ekonom yang memperkirakan ada kenaikan 0,2% (MoM).
Lebih lanjut, penjualan barang-barang ritel periode yang sama di Negeri Tirai Bambu diumumkan hanya tumbuh sebesar 7,2% secara tahunan, dan merupakan laju terendah semenjak Mei 2003. Produksi industri China periode April juga hanya tumbuh 5,4% YoY, di bawah konsensus yang dihimpun Refinitiv sebesar 6,5%.
Pelaku pasar kembali dibuat khawatir, karena fundamental dua kekuatan ekonomi terbesar dunia terus melemah dan ini tentu akan menyeret turun pertumbuhan ekonomi global. Risiko berinvestasi di bursa saham negara berkembang, termasuk Indonesia bukanlah pilihan bijak.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular