Perang Dagang Masuk Ronde 2, Harga CPO Malah Menguat

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
14 May 2019 10:56
Rencana pemerintah China untuk memberlakukan tarif pada produk kedelai Amerika Serikat (AS) tampaknya menjadi sentimen yang memberikan pijakan pada CPO.
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah empat hari berturut-turut melemah, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) balik menguat. Rencana pemerintah China untuk memberlakukan tarif pada produk kedelai Amerika Serikat (AS) tampaknya menjadi sentimen yang memberikan pijakan pada CPO.

Pada perdagangan Selasa (14/5/2019) pukul 10:30 WIB, harga CPO kontrak pengiriman Juli di bursa Malaysia Derivatives Exchange menguat 0,55% ke posisi MYR 1.996/ton. Namun harga CPO masih dekat dengan level terendahnya dalam 2 tahun terakhir.



Setelah pada hari Jumat (10/5/2019) pemerintah AS resmi memberlakukan tarif sebesar 25% terhadap produk asal China senilai US$ 200 miliar, China pun membalas dengan langkah yang identik.

Hari Senin (13/5/2019) China mengumumkan kenaikan tarif untuk produk-produk AS senilai US$ 60 miliar yang akan mulai berlaku bulan Juni mendatang. Sebanyak 5.140 jenis produk akan mengalami kenaikan tarif impor bervariasi, mulai dari 5% hingga 25% mulai 1 Juni 2019, berdasarkan keterangan Menteri Keuangan China, mengutip Reuters.

Sebenarnya ini juga merupakan ancaman pada pasar komoditas global, tidak terkecuali CPO. Pasalnya perang dagang ronde II yang sudah resmi dimulai ini berpotensi menggiring ekonomi global ke jurang perlambatan yang lebih parah dibanding tahun 2018. Permintaan berbagai komoditas bahan baku industri seperti CPO berpotensi tidak tumbuh, bahkan terkontraksi.

Namun, dalam pengumumannya, China mengatakan bahwa produk kedelai asal AS akan terkena tarif impor tambahan sebesar 25%. Inilah yang menjadi salah satu keuntungan CPO.

Bila bea impor kedelai AS tinggi, maka konsumen minyak nabati China berpotensi mencapai produk substitusi. Minyak sawit yang merupakan saingan kedelai pun akan cocok dengan keadaan tersebut.

Apalagi China diketahui merupakan konsumen minyak nabati terbesar ketiga di dunia. Hanya kalah dari India dan Uni Eropa. Tentu saja peningkatan permintaan dari China akan berdampak cukup signifikan terhadap keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan).

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Inventori Masih Penuh, Harga CPO Terendah Dalam 1 Minggu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular