Diserang dari Dua Arah, Rupiah Tak Berdaya Lawan Dolar AS

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
13 May 2019 13:54
Diserang dari Dua Arah, Rupiah Tak Berdaya Lawan Dolar AS

Pada perdagangan pasar spot hari Senin (13/5/2019) hingga pukul 13:00 WIB, kurs rupiah melemah hingga 65 poin atau 0,45% menjadi sebesar Rp 14.385/US$. Padahal pada pembukaan pasar, rupiah hanya melemah 0,1%. Namun seiring berjalannya waktu, pelemahan terasa semakin dalam.

Memang harus diakui bahwa hari ini merupakan hari yang berat untuk mata uang negara-negara Asia.

Pasalnya, hampir seluruh mata uang Benua kuning bertekuk lutut di hadapan dolar.  Minat investor terhadap safe haven sedang tinggi akibat memanasnya hubungan dagang antara AS dan China. Pun demikian, faktor domestik juga menekan rupiah hingga jatuh cukup dalam.



BERLANJUT KE HALAMAN 2


Babak baru perang dagang AS-China yang telah dimulai masih mampu untuk membuat risk appetite investor surut.

Pada hari Jumat (10/5/2019), atas titah Presiden Donald Trump, pemerintah AS secara resmi telah memberlakukan tarif impor sebesar 25% untuk produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Sebelumnya tarif impor untuk produk tersebut hanya sebesar 10%.


Berdasarkan penuturan Trump, hal itu dilakukan karena China dianggap tidak lagi berkomitmen pada beberapa poin kesepakatan yang pernah dibuat. Bahkan China dikabarkan menghapus beberapa klausul seperti perlindungan hak atas kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi, kebijakan persaingan bebas, akses terhadap sektor keuangan, dan manipulasi kurs yang ada dalam draf kesepakatan yang pernah disusun pada masa negosiasi sebelumnya.


Kenaikan tarif tersebut juga dimulai bahkan ketika Wakil Perdana Menteri China, Liu He tengah berada di Washington untuk melanjutkan dialong tatap muka dengan delegasi AS yang diwakili oleh Perwakilan Dagang, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin.


Namun kenyataannya, perundingan yang berlangsung selama dua hari tersebut (9-10/5/2019) tidak mampu untuk mencapai sebuah kesepakatan yang dapat menghapus bea impor.


Menurut penuturan Liu He, ada tiga hal mendasar yang belum bisa dipecahkan oleh kedua negara, yaitu penghapusan bea masuk, volume pembelian barang AS, dan bahasa yang digunakan pada draf kesepakatan.


Reaksi China pun mudah ditebak. Liu He mengatakan bahwa negaranya tidak punya pilihan lain selain menerapkan kebijakan yang serupa. Namun belum ada pengumuman berapa besaran tarif yang diterapkan oleh China.

Sebagai informasi, tarif tersebut bukanlah biaya yang harus dibayarkan oleh pemerintah masing-masing negara. Namun bea masuk yang harus dikeluarkan oleh importir kala memasukkan barang dari luar negeri, dalam hal ini AS dan China.

Kalau sudah begitu, tentu saja rantai pasokan akan terganggu. Tidak hanya bagi AS dan China, namun juga merembet ke seluruh penjuru dunia. Sebab dua negara itu merupakan raksasa ekonomi terbesar di dunia.

Kekhawatiran perlambatan ekonomi global pun mencuat. Dari yang sudah lambat, akan bertambah lambat.

Tak heran pelaku pasar enggan agresif masuk ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Membuat mata uang dalam negeri kekurangan energi untuk melawan tekanan dolar.

BERLANJUT KE HALAMAN 3
Bersamaan dengan itu, faktor dari dalam tubuh rupiah sendiri juga tidak bisa dibilang kuat. Bahkan boleh jadi amat lemah.

Pada hari Jumat (10/5/2019), Bank Indonesia (BI) mengumumkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal I-2019 yang mengalami surplus sebesar US$ 2,4 miliar.

Tapi jangan senang dulu, karena ternyata pos transaksi berjalan (current account) yang merupakan salah satu komponen penting pembentuk NPI malah membukukan defisit (current account deficit/CAD) sebesar US$ 6,9 miliar.

Angka defisit tersebut setara dengan 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang artinya semakin dalam dibandingkan kuartal I-2018 yang hanya sebesar 2,01% PDB.

Hampir seluruh pos transaksi berjalan tercatat memburuk dibanding tahun sebelumnya.

Contohnya pos perdagangan barang non-migas yang hanya menghasilkan surplus sebesar US$ 2,54 miliar atau turun hingga 42,6% year-on-year (YoY). Selain itu sektor jasa-jasa mencatat defisit sebesar US$ 1,78 miliar atau lebih besar 21% YoY.

Sebagai informasi, transaksi berjalan berperan penting dalam NPI karena merupakan gambaran aliran dana pada sektor riil yang cenderung bertahan lama. Uang yang sudah masuk, tidak bisa begitu saja keluar seenaknya.

Sementara penyebab surplus NPI kali ini adalah pos transaksi finansial yang berhasil surplus hingga US$ 10 miliar. Tapi sejatinya transaksi finansial separuhnya merupakan aliran uang di portofolio alias pasar keuangan (saham dan obligasi).

Pada pasar keuangan, investor (terutama asing) dapat dengan sekejap menarik uangnya dari Indonesia. Tinggal jual, lalu hilanglah sudah.

Contohnya hari pada hari ini, dimana investor asing masih tercatat melakukan jual bersih sebesar Rp 212 miliar di pasar saham dalam negeri.

Tanpa adanya pasokan uang yang memadai, rupiah menjadi rentan dan lemah. Seperti orang yang kurang makanan.

Kondisi yang demikian tentu saja membuat investor makin tak meminati rupiah. Aksi jual pun marak terjadi, membuat pelemahan rupiah cukup dalam.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular