Pada hari Senin (13/5/2019), kurs tengah BI, atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada di posisi Rp 14.362. Rupiah melemah 0,1% dibanding posisi perdagangan akhir pekan lalu dan masih merupakan yang terlemah sejak 4 Januari 2019.
Sementara di pasar spot pukul 11:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.380 atau melemah 0,42%. Sejak awal perdagangan, rupiah memang sudah melemah, dan semakin dalam seiring berjalannya waktu.
Akan tetapi, hampir semua mata uang utama Benua Kuning memang sedang melemah hari ini. Tercatat hanya yen Jepang saja yang mampu menguat terhadap dolar AS hari ini. Yah, itu pun juga karena yen merupakan salah satu safe haven.
Artinya investor memang sedang cenderung tak bergairah untuk berinvestasi pada aset-aset berisiko. Setidaknya pada hari ini.
Perang dagang antara AS dan China yang sudah masuk ke babak baru tampaknya masih membuat investor memasang mode main aman.
Pasalnya pada hari Jumat (10/5/2019) waktu setempat, pemerintah AS secara resmi telah memberlakukan tarif impor sebesar 25% untuk berbagai produk China yang senilai US$ 200 miliar. Sebelumnya, pada produk yang sama, tarif impornya hanya sebesar 10%.
Menurut Presiden AS, Donald Trump, langkah tersebut diambil karena China menarik beberapa poin kesepakatan yang pernah dibuat pada rangkaian negosiasi sebelumnya.
Mengutip Reuters, China disebutkan tidak lagi berkomitmen untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi, kebijakan persaingan bebas, akses terhadap sektor keuangan, dan manipulasi kurs.
Berlakunya tarif baru tersebut bahkan terjadi saat Wakil Perdana Menteri China, Liu He sedang berada di Washington untuk melakukan dialog dagang.
Sebagai informasi, pada hari Kamis dan Jumat (9-10/5/2019) pekan lalu, Wakil Perdana Menteri China, Liu He berada di Washington untuk melakukan dialog tatap muka dengan delegasi AS yang diwakili oleh Kepala Perwakilan Dagang AS, Robert Lightizer dan Wakil Perdana Menteri AS, Steven Mnuchin.
Akan tetapi hingga penghujung hari Jumat, tarif baru yang ditetapkan AS masih berlaku. Alias tidak ada kesepakatan apapun yang berhasil membuat tarif dihapuskan.
Reaksi China pun mudah untuk ditebak.
Mengutip Reuters, Liu He mengatakan bahwa pihaknya tidak memiliki pilihan selain membalas dengan tindakan yang serupa. Alias bea impor untuk produk asal AS. Liu He juga mengatakan bahwa ada tiga perbedaan mendasar yang membuat kesepakatan dagang belum bisa terwujud.
Pertama, China berpendapat bahwa seluruh bea masuk harus dihapuskan bila kedua belah pihak benar-benar ingin mencapai kesepakatan.
Kedua, terkait dengan volume pembelian barang-barang AS oleh China. Sementara yang ketiga adalah yang terkait dengan bahasa yang digunakan dalam teks kesepakatan dagang kedua negara.
Kalau sudah begini, skenario perang tarif seperti yang terjadi pada tahun 2018 akan terulang, bahkan dengan intensitas yang lebih parah. Apalagi diketahui bahwa Trump berencana memberlakukan bea impor 25% pada produk-produk China lain yang senilai US$ 325 miliar, yang mana saat ini belum ada bea impornya.
Pelaku pasar memprediksi dampaknya juga akan mirip dengan tahun lalu, dimana rantai pasokan global melambat yang berhujung pada perlambatan ekonomi global.
Sekarang saja sudah lambat, bagaimana jika makin dihambat?
Risiko koreksi nilai aset pun meningkat, membuat investor cenderung menahan investasi pada instrumen berisiko, seperti saham di negara berkembang termasuk Indonesia.
Hingga pukul 11:00 WIB, investor asing telah membukukan jual bersih senilai Rp 155 miliar di pasar saham dalam negeri. Kurangnya pasokan valas tentu saja akan membuat rupiah kekurangan energi untuk menahan tekanan dari mata uang lain.
TIM RISET CNBC INDONESIA