Perang Dagang Sampai Gaduh Politik Bikin Rupiah Loyo 11 Hari

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 May 2019 12:14
Perang Dagang Sampai Gaduh Politik Bikin Rupiah Loyo 11 Hari
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Sentimen eksternal dan domestik memang sedang kurang mendukung penguatan rupiah. 

Pada Selasa (7/5/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.300. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Padahal rupiah dibuka menguat tipis 0,03%. Namun penguatan tipis itu tidak bertahan lama, karena dalam hitungan menit rupiah sudah kembali melemah dan dolar AS berhasil kembali merangsek ke kisaran Rp 14.300. 


Apabila rupiah kembali melemah saat lapak ditutup, maka mata uang Tanah Air juga tidak pernah merasakan rimbunnya zona hijau dalam 11 hari perdagangan terakhir. Rantai terpanjang sejak 23 Juli-22 Agustus 2013. 

 

Apa mau dikata, dolar AS memang masih jumawa di Asia. Mata uang utama Benua Kuning cenderung melemah di hadapan greenback.

Meski masih melemah, nasib rupiah membaik. Sebelumnya rupiah sempat menjadi mata uang terlemah di Asia, tetapi kini 'gelar' tersebut disandang oleh yuan China. Rupiah kini naik satu setrip menjadi runner-up dari bawah.

Baca:
Dibuka Menguat, Rupiah Kini Terlemah di Asia

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:01 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor eksternal dan domestik masih membebani langkah rupiah sehingga belum mampu menguat. Dari sisi eksternal, sepertinya risiko kembali meletusnya perang dagang AS-China masih membayangi pasar keuangan Asia.  

Kemarin, Presiden AS Donald Trump mengancam bakal menaikkan tarif bea masuk untuk importasi produk China senilai US$ 200 miliar. Bahkan eks pembawa acara reality show The Apprentice itu berencana mengenakan bea masuk baru terhadap impor produk made in China senilai US$ 325 miliar. 


Para pembantu Trump pun mulai galak terhadap China. Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, menegaskan bahwa akhir-akhir ini komitmen China mengendur. Oleh karena itu, mungkin perlu sedikit 'injak kaki' dengan cara menerapkan bea masuk. 

"Dalam beberapa pekan terakhir, kami melihat ada penurunan komitmen dari pihak China. Kami tidak bicara soal membatalkan dialog, tetapi mulai Jumat akan ada tarif bea masuk baru," tegasnya, dikutip dari Reuters. 

Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, menambahkan bahwa China memang perlu didorong untuk segera menyelesaikan dialog dagang. Untuk itu, perlu ada langkah yang cukup drastis. 

"Mereka (China) coba untuk mundur ke hal-hal yang sebelumnya pernah dibicarakan, jelas ada upaya untuk mengubah kesepakatan. Oleh karena itu, seluruh tim ekonomi pemerintahan AS sepakat dan merekomendasikan kepada presiden untuk bergerak maju dengan bea masuk jika kita tidak bisa menyelesaikan kesepakatan dagang akhir pekan ini, " ungkap Mnuchin, mengutip Reuters. 

Mendapat ancaman terbuka, China pun mulai panas. Sejumlah suara keras berdatangan, yang intinya siap meladeni jika AS ingin kembali melanjutkan perang dagang. 

"Atmosfer perundingan sudah berbeda. Semua tergantung perilaku AS," tegas salah seorang diplomat China, dikutip dari Reuters. 

"Biarkan saja Trump menaikkan bea masuk. Kita lihat saja apakah dialog dagang bisa berlanjut," tegas Hu Xijin, Pemimpin Redaksi Global Times (tabloid terbitan Partai Komunis China), dalam cuitan di Twitter dengan nada mengancam. 

Harapan damai dagang perlahan berganti menjadi kekhawatiran dimulainya kembali perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi. Hal ini tentu sangat membuat investor cemas, sehingga tidak ada yang berani mengambil risiko. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari dalam negeri, sepertinya investor kecewa dengan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 yang 'cuma' 5,07% year-on-year (YoY). Lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,19%, sementara konsensus Reuters ada di 5,18%. 


Kini pasar memilih menunggu sembari menanti data penting lain yang akan dirilis akhir pekan ini, yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Investor akan melihat bagaimana posisi keseimbangan eksternal Indonesia, masih rapuh atau sudah ada perbaikan? 

Pos yang akan dicermati oleh pelaku pasar adalah transaksi berjalan (current account), yang mencerminkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Jika defisitnya semakin dalam, maka kemungkinan rupiah akan rentan melemah karena tidak punya fondasi yang kuat. 

Jadi sambil menunggu data ini, tampaknya investor masih akan mengambil jarak dari pasar keuangan Indonesia. Apabila hasilnya positif, maka arus modal baru akan mengalir deras sehingga memperkuat nilai tukar rupiah. 

Selain itu, ada kemungkinan investor memilih wait and see akibat situasi politik usai Pemilu 2019 yang masih gaduh. Kemarin, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto mengundang sejumlah media asing dalam konferensi pers seputar kecurangan Pemilu.  

Straits Times melaporkan, Prabowo mendesak audit teknologi informasi terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, eks Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat ini berkeras telah terjadi kekeliruan data yang harus dikoreksi. Data-data yang tidak benar harus diluruskan. 

Sejauh ini, perhitungan riil yang dilakukan KPU masih memenangkan pasangan capres-cawapres 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. Namun Prabowo dan pendukungnya menolak menyerah dan kerap menyuarakan soal kecurangan Pemilu sehingga hasilnya menjadi tidak sah. 


Situasi ini berpotensi mendelegitimasi hasil perhitungan suara yang akan diumumkan KPU pada 22 Mei mendatang. Apa pun hasilnya, ribut-ribut politik belum akan berhenti.  

Suhu politik yang tidak kunjung adem tentu membuat investor gerah. Oleh karena itu, kemungkinan pemilik modal menunggu situasi agak tenang dulu, sudah jelas siapa pemimpin Indonesia 2019-2024, dan kegaduhan sudah mereda. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular