Benarkah Bulan Puasa Ramadan Bikin IHSG Anjlok?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 May 2019 12:42
Benarkah Bulan Puasa Ramadan Bikin IHSG Anjlok?
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan puasa akan segera tiba. Pada hari ini, Minggu (5/5/2019), Kementerian Agama akan menggelar sidang Isbat yang akan menentukan kapan umat muslim di Indonesia mulai menunaikan ibadah puasa.

Bagi pasar saham, banyak yang mengatakan bahwa bulan puasa akan membuat pelaku pasar bermain defensif sehingga membuat transaksi saham menjadi tak menguntungkan. Namun, tepatkah anggapan tersebut?


Guna membuktikannya, Tim Riset CNBC Indonesia menghitung imbal hasil Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama periode bulan puasa dalam 5 tahun terakhir (2014-2018). Hasilnya ternyata cukup menarik.

Dalam 5 tahun terakhir, hanya sekali IHSG memberikan imbal hasil negatif selama bulan puasa, yakni pada tahun 2015 (-1,5%). Kala itu, laju ekonomi Indonesia memang sedang lambat-lambatnya, dipengaruhi oleh rendahnya realisasi APBN, anjloknya harga komoditas, dan isu kenaikan suku bunga acuan oleh the Fed yang membuat rupiah melemah signifikan terhadap dolar AS. Lantas, performa IHSG mendapat tekanan yang begitu besar.

Jika performa tahun 2015 dikeluarkan, praktis bisa dibilang bahwa bulan puasa membawa berkah bagi pasar saham tanah air.

                

BERLANJUT KE HALAMAN 2

Tapi, bagaimana untuk bulan puasa tahun ini? Akankah IHSG kembali membukukan performa yang kinclong? Kinerja IHSG selama bulan puasa tahun ini bisa ditentukan oleh rilis data ekonomi yang sangat penting esok hari, Senin (6/5/2019).

Besok, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia periode kuartal-I 2019. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,19 secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih tinggi dari kuartal-I 2018 dan juga kuartal-IV 2018 yang masing-masing sebesar 5,06% YoY dan 5,18% YoY.



Jika sesuai proyeksi, maka pertumbuhan ekonomi kuartal-I tahun ini akan menjadi yang terbaik di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini pada akhirnya berpotensi membuat IHSG kembali mencatatkan torehan manis di bulan puasa.



Tanda-tanda kuatnya laju perekonomian Indonesia dalam 3 bulan pertama tahun ini memang sudah terlihat sebelumnya. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini pertumbuhan penjualan barang-barang ritel selalu berhasil mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya.

Pada Januari 2019, berdasarkan Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dirilis Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 7,2% secara tahunan, lebih baik dari capaian Januari 2018 yakni kontraksi sebesar 1,8%. Pada Februari 2019, penjualan barang-barang ritel diketahui melesat hingga 9,1%, mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya yakni pertumbuhan sebesar 1,5%.

Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 adalah sebesar 8%, juga jauh mengalahkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 2,5% saja.

Mengingat lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga, pesatnya penjualan barang-barang ritel jelas mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang oke pada kuartal-I 2019.

Namun, bukan berarti rilis data pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 tidak bisa membawa kejutan yang pada akhirnya akan menyeret turun indeks saham acuan dalam negeri.

Pasalnya terlepas dari kuatnya konsumsi, investasi yang juga merupakan komponen penting dalam perekonomian Indonesia nampaknya sulit diandalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.



Sepanjang kuartal-I 2019, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa realisasi investasi hanya mencapai Rp 195,1 triliun, naik 5,3% jika dibandingkan capaian kuartal-I 2018 yang senilai 185,3 triliun. Pertumbuhan tersebut jauh di bawah capaian kuartal-I 2018 yang sebesar 11,8% YoY.

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tercatat senilai Rp 87,2 triliun pada 3 bulan pertama tahun ini, naik 14,1% YoY. Sementara itu, Penanaman Modal Asing (PMA) tercatat senilai Rp 107,9 triliun atau turun 0,9% YoY. Padahal pada kuartal-I 2018, PMA melesat hingga 12,3% secara tahunan.

Tekanan terhadap rupiah yang terjadi semenjak bulan Februari ditengarai menjadi faktor yang membuat investor asing menunda investasinya di tanah air. Dalam periode 7 Februari-29 Maret, rupiah melemah sebesar 2,28% di pasar spot, dari level Rp 13.917/dolar AS ke level Rp 14.235/dolar AS.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular