Harga Minyak Dunia Tinggi, RI Untung atau Buntung?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 April 2019 17:24
Harga Minyak Dunia Tinggi, RI Untung atau Buntung?
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga minyak sudah tinggi! Bahkan hari ini harga minyak jenis Brent, yang biasa dijadikan acuan di Eropa telah menembus level US$ 75/barel untuk pertama kali sejak November 2018. Sedangkan harga light sweet (WTI) juga sudah tembus US$ 66/barel.

Tapi apa artinya harga minyak yang tinggi itu bagi Indonesia? Apakah untung? Atau malah buntung?

Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, asumsi makro untuk harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) adalah sebesar US$ 70/barel.

Sebagai informasi, ICP merupakan harga minyak yang digunakan pemerintah sebagai acuan untuk menentukan asumsi makro. ICP sendiri dihitung berdasarkan beberapa harga minyak acuan global.

Pada Juli 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat rumus perhitungan baru yang membuat ICP hanya selisih sekitar 1-1,5 US$/barel dengan harga minyak Brent.

ICP diperbaharui oleh Kementerian ESDM setiap satu bulan sekali. Berbeda dengan harga minyak global yang diperdagangkan setiap hari reguler sehingga perubahan harganya lebih dinamis.

Maka dari itu, kita bisa menggunakan harga Brent sebagai proxy untuk meramal ICP. Nilainya tidak akan berbeda terlalu jauh.

Sebagai contoh pada bulan Maret ICP diumumkan sebesar US$ 63,6/barel. Kala itu harga rata-rata bulanan minyak Brent mencapai US$ 65,5/barel. Tidak beda jauh, bukan?

Maka dari itu kala harga minyak sudah jauh melampaui asumsi makro harga minyak pada APBN, akan ada perubahan yang mungkin terjadi pada realisasinya. Pasalnya harga minyak akan mempengaruhi pendapatan dan juga belanja negara.

Dalam nota keuangan APBN 2019, disebutkan bahwa setiap kenaikan ICP sebanyak US$ 1/barel, akan meningkatkan pos belanja negara sekitar Rp 1,7-3,1 triliun. Gampangnya, kala harga minyak pemerintah juga harus mengeluarkan uang lebih besar untuk kebutuhan subsidi BBM, sehingga pengeluaran membesar.

Apakah artinya pemerintah merugi?

Tidak juga.

Itu karena pos pendapatan negara juga meningkat sekitar Rp 2,9-3,8 triliun pada kasus yang sama (kenaikan harga minyak 1 US$/barel). Wajar, karena setoran yang dibayarkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atas hasil produksi minyak juga meningkat.

Bagi yang belum tau, KKKS merupakan perusahaan yang melakukan pengelolaan suatu Blok minyak dan berhak atas aktivitas eksplorasi dan eksploitasi.

Alhasil dengan kenaikan harga minyak, sejatinya pemerintah Indonesia diuntungkan karena peningkatan pendapatan lebih besar ketimbang pengeluaran.

Bila dihitung-hitung, kelebihan pembiayaan akibat kenaikan ICP sebesar 1 US$/barel berkisar di angka Rp 0,8-1,2 triliun.

Alhasil, kala ICP berada di posisi US$ 75/barel (US$ 5/barel di atas asumsi makro) maka pemerintah berpotensi mendapatkan pembiayaan tambahan sekitar Rp 4-6 triliun.

Akan tetapi, bila ditimbang-timbang, keuntungan yang didapatkan pemerintah tidak seberapa. Pasalnya target defisit anggaran tahun 2019 mencapai Rp 296 triliun. Hanya 2% dari defisit.

Namun perlu diingat, perhitungan tersebut mengesampingkan faktor-faktor lain seperti nilai tukar rupiah dan realisasi lifting migas.

Pemerintah sudah untung, rakyat bagaimana?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Nah ini persoalan lain. Hingga sat ini, Indonesia masih menjadi negara net importir minyak. Artinya, meskipun sudah memiliki produksi minyak sendiri, tapi tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.

Kala harga minyak meningkat, maka biaya impor juga sudah pasti juga naik (asumsi kurs tetap). Akan ada lebih banyak uang yang berhamburan keluar dari Ibu Pertiwi. Akibatnya, neraca transaksi berjalan (current account) akan semakin terbebani.

Berbeda dengan aliran uang di pasar keuangan (seperti pasar saham) yang mudah keluar masuk dalam sekejap, current account cenderung bertahan lama.

Bila banyak uang yang masuk ke Indonesia dari current account, maka akan menjadi energi yang mantap bagi rupiah untuk menahan tekanan mata uang lain.

Sayangnya, sudah sejak tahun 2011 Indonesia selalu menikmati yang namanya defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD). Pada akhir tahun 2018, CAD Indonesia sebesar 3,57% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Kala itu pun salah satu faktor yang menyebabkan pembengkakan CAD juga harga minyak. Sepanjang tahun 2018, rata-rata harga Brent mencapai US$ 71,67/barel.

Jika (semoga tidak) tahun ini CAD tidak menipis, atau bahkan melebar lagi, rupiah bisa jadi tak kuat menahan mata uang asing, seperti yang juga terjadi pada tahun 2018. Sepanjang tahun 2018, rupiah melemah 5,97%.

Memang, harga minyak bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi CAD. Masih ada komponen lain di sektor riil, seperti neraca perdagangan barang, jasa, dan transaksi primer. Maka dari itu, semoga saja kinerja sektor riil Indonesia bisa membaik di tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular