
Fundamental Masih Tak Mendukung, Harga CPO Lanjut Melemah
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 April 2019 11:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (crude pam oil/CPO) masih melemah pada perdagangan hari Kamis (25/4/2019) siang.
Pada pukul 11:00 WIB, harga CPO kontrak pengiriman Juli di bursa Malaysia Derivatives Exchange melemah 0,23% ke posisi MYR 2.165/ton (US$ 523,22/ton), setelah ditutup stagnan kemarin (24/4/2019). Dalam sepekan, harga CPO sudah turun 0,82% secara point-to-point. Sedangkan sejak awa tahun masih lebih tinggi 2,07%.
Tekanan terhadap pergerakan harga CPO masih diakibatkan oleh faktor fundamental (pasokan-permintaan) di pasar.
Inventori minyak sawit Malaysia yang diprediksi masih akan tinggi di April masih membuat pelaku pasar sulit membayangkan peningkatan harga.
Pasalnya pelaku pasar masih yakin produksi minyak sawit Malaysia pada April naik pada kisaran 2%-5%. Di sisi lain, ekspor tampaknya tidak akan naik banyak.
Dua surveyor kargo (Intertek Testing Services dan Societe Generale de Surveillance) mengatakan, ekspor sawit Malaysia periode 1-25 April meningkat pada kisaran 1,5%-2,2% dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya. Sedangkan AmSpec Agri Malaysia mengatakan, ada kontraksi ekspor sebesar 1,8% pada periode tersebut.
Artinya, kemungkinan besar inventori minyak sawit April kembali meningkat. Pun ternyata ada penurunan, namun nilainya tidak akan terlalu besar.
"Produksi tidak turun, dan permintaan juga tidak terlalu bagus. Ada kekhawatiran inventori akhir bulan tidak berkurang," ujar pialang yang berbasis di Kuala Lumpur, mengutip Reuters.
Inventori minyak sawit memang sudah menjadi momok yang sulit untuk diatasi sejak akhir 2018. Kala itu, peningkatan produksi yang masif sepanjang tahun membuat inventori menggunung di akhir tahun. Bahkan per 31 Desember 2018 mencapai 3,2 juta ton sekaligus menjadi yang paling tinggi sejak 18 tahun terakhir, Alhasil, sepanjang 2018 harga CPO amblas hingga 16%.
Namun dalam jangka pendek, permintaan minyak sawit masih masih berpeluang meningkat akibat adanya bulan Ramadan yang jatuh pada Mei.
Tatkala Ramadan tiba, biasanya umat Islam di Indonesia dan Malaysia banyak menggelar jamuan buka puasa bersama. Konsumsi minyak goreng (yang utamanya berasal dari sawit) pun juga naik.
Akan tetapi secara jangka panjang, ada dua faktor yang tampaknya masih akan kuat menekan harga CPO.
Pertama, adanya pembatasan penggunaan minyak sawit di Uni Eropa.
Seperti yang telah diketahui, pada awal bulan Maret, Komisi Eropa mengeluarkan peraturan baru di mana minyak sawit dikategorikan sebagai produk 'tak berkelanjutan'. Dengan begitu, penggunaan minyak sawit sebagai campuran bahan baku biosolar akan dikurangi secara bertahap hingga dilarang sama sekali pada 2030.
Memang, aturan tersebut tak langsung dengan segera membuat impor Uni Eropa habis. Ada waktu sampai 2030. Akan tetapi importir akan cenderung main aman. Mereka akan lebih memilih produk substitusi, seperti minyak kedelai atau minyak biji bunga matahari.
Tentu saja ini merupakan berita buruk bagi pasar sawit global. Pasalnya Uni Eropa merupakan importir minyak sawit terbesar kedua di dunia, hanya kalah dari India. Apalagi diketahui bahwa 51% dari impor minyak sawit di Uni Eropa digunakan sebagai bahan baku biosolar.
Kedua, peningkatan produksi minyak nabati domestik di India.
Berdasarkan keterangan dari B.V. Mehta, Direktur Eksekutif Solvent Extractors Association of India yang dilansir dari Reuters, produksi rapeseed akan menyentuh rekor 8 juta ton pada tahun ini. Hal itu akan menyebabkan ketersediaan minyak rapeseed domestik India akan naik 1,5 juta ton.
Perlu diketahui minyak rapeseed juga merupakan produk substitusi sawit yang memperebutkan bagian di pasar minyak nabati global.
Akibatnya, permintaan minyak sawit dari India akan berkurang, Sebagai importir terbesar di dunia, tentu saja India akan memiliki pengaruh yang besar pada keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Inventori Masih Penuh, Harga CPO Terendah Dalam 1 Minggu
Pada pukul 11:00 WIB, harga CPO kontrak pengiriman Juli di bursa Malaysia Derivatives Exchange melemah 0,23% ke posisi MYR 2.165/ton (US$ 523,22/ton), setelah ditutup stagnan kemarin (24/4/2019). Dalam sepekan, harga CPO sudah turun 0,82% secara point-to-point. Sedangkan sejak awa tahun masih lebih tinggi 2,07%.
Tekanan terhadap pergerakan harga CPO masih diakibatkan oleh faktor fundamental (pasokan-permintaan) di pasar.
Inventori minyak sawit Malaysia yang diprediksi masih akan tinggi di April masih membuat pelaku pasar sulit membayangkan peningkatan harga.
Pasalnya pelaku pasar masih yakin produksi minyak sawit Malaysia pada April naik pada kisaran 2%-5%. Di sisi lain, ekspor tampaknya tidak akan naik banyak.
Dua surveyor kargo (Intertek Testing Services dan Societe Generale de Surveillance) mengatakan, ekspor sawit Malaysia periode 1-25 April meningkat pada kisaran 1,5%-2,2% dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya. Sedangkan AmSpec Agri Malaysia mengatakan, ada kontraksi ekspor sebesar 1,8% pada periode tersebut.
Artinya, kemungkinan besar inventori minyak sawit April kembali meningkat. Pun ternyata ada penurunan, namun nilainya tidak akan terlalu besar.
"Produksi tidak turun, dan permintaan juga tidak terlalu bagus. Ada kekhawatiran inventori akhir bulan tidak berkurang," ujar pialang yang berbasis di Kuala Lumpur, mengutip Reuters.
Inventori minyak sawit memang sudah menjadi momok yang sulit untuk diatasi sejak akhir 2018. Kala itu, peningkatan produksi yang masif sepanjang tahun membuat inventori menggunung di akhir tahun. Bahkan per 31 Desember 2018 mencapai 3,2 juta ton sekaligus menjadi yang paling tinggi sejak 18 tahun terakhir, Alhasil, sepanjang 2018 harga CPO amblas hingga 16%.
Namun dalam jangka pendek, permintaan minyak sawit masih masih berpeluang meningkat akibat adanya bulan Ramadan yang jatuh pada Mei.
Tatkala Ramadan tiba, biasanya umat Islam di Indonesia dan Malaysia banyak menggelar jamuan buka puasa bersama. Konsumsi minyak goreng (yang utamanya berasal dari sawit) pun juga naik.
Akan tetapi secara jangka panjang, ada dua faktor yang tampaknya masih akan kuat menekan harga CPO.
Pertama, adanya pembatasan penggunaan minyak sawit di Uni Eropa.
Seperti yang telah diketahui, pada awal bulan Maret, Komisi Eropa mengeluarkan peraturan baru di mana minyak sawit dikategorikan sebagai produk 'tak berkelanjutan'. Dengan begitu, penggunaan minyak sawit sebagai campuran bahan baku biosolar akan dikurangi secara bertahap hingga dilarang sama sekali pada 2030.
Memang, aturan tersebut tak langsung dengan segera membuat impor Uni Eropa habis. Ada waktu sampai 2030. Akan tetapi importir akan cenderung main aman. Mereka akan lebih memilih produk substitusi, seperti minyak kedelai atau minyak biji bunga matahari.
Tentu saja ini merupakan berita buruk bagi pasar sawit global. Pasalnya Uni Eropa merupakan importir minyak sawit terbesar kedua di dunia, hanya kalah dari India. Apalagi diketahui bahwa 51% dari impor minyak sawit di Uni Eropa digunakan sebagai bahan baku biosolar.
Kedua, peningkatan produksi minyak nabati domestik di India.
Berdasarkan keterangan dari B.V. Mehta, Direktur Eksekutif Solvent Extractors Association of India yang dilansir dari Reuters, produksi rapeseed akan menyentuh rekor 8 juta ton pada tahun ini. Hal itu akan menyebabkan ketersediaan minyak rapeseed domestik India akan naik 1,5 juta ton.
Perlu diketahui minyak rapeseed juga merupakan produk substitusi sawit yang memperebutkan bagian di pasar minyak nabati global.
Akibatnya, permintaan minyak sawit dari India akan berkurang, Sebagai importir terbesar di dunia, tentu saja India akan memiliki pengaruh yang besar pada keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Inventori Masih Penuh, Harga CPO Terendah Dalam 1 Minggu
Most Popular