Top! Seharian Tak Sentuh Zona Merah, IHSG Nomor 1 di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 April 2019 16:39
Top! Seharian Tak Sentuh Zona Merah, IHSG Nomor 1 di Asia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Selepas anjlok hingga 1,42% pada perdagangan kemarin (22/4/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bangkit pada hari ini. Per akhir sesi 2, IHSG membukukan penguatan sebesar 0,75% ke level 6.462,82.

Tak sekalipun merasakan pahitnya zona merah, IHSG juga menjadi indeks saham dengan kinerja terbaik di kawasan Asia. Sejatinya, mayoritas indeks saham kawasan Asia lainnya juga ditransaksikan menguat seperti IHSG. Namun, penguatan IHSG merupakan yang paling tinggi.



Optimisme bahwa perekonomian dunia tidak akan mengalami hard landing pada tahun ini membuat saham-saham di Benua Kuning diburu investor. Belum lama ini, International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi dunia untuk tahun 2019 menjadi 3,3%, dari yang sebelumnya 3,5% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari. Sebagai informasi, perekonomian dunia tumbuh hingga 3,6% pada tahun 2018.

Data ekonomi yang dirilis belakangan ini di negara-negara dengan nilai perekonomian raksasa seperti China dan AS menunjukkan bahwa laju perekonomian dunia masih oke, sehingga hard landing akan bisa dihindari.

Pada pekan lalu, pertumbuhan ekonomi China periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 6,4% YoY, mengalahkan konsensus yang sebesar 6,3% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics.

Kemudian, produksi industri periode Maret 2019 diumumkan tumbuh 8,5% secara tahunan, di atas konsensus yang sebesar 5,9%, seperti dilansir dari Trading Economics. Terakhir, penjualan barang-barang ritel untuk bulan yang sama melesat hingga 8,7% secara tahunan, juga di atas konsensus yang sebesar 8,4%, dilansir dari Trading Economics.

Beralih ke AS, penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kemudian, penjualan barang-barang ritel inti (mengeluarkan komponen mobil) periode Maret 2019 tumbuh sebesar 1,2% secara bulanan, membaik ketimbang bulan Februari yang minus 0,2%. Capaian tersebut juga juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.

Tak sampai disitu, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 13 April tercatat turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 207.000, dilansir dari Forex Factory.
Secara sektoral, sektor barang konsumsi (+1,25%) menjadi motor utama penguatan IHSG. Wajar jika investor melakukan aksi beli atas saham-saham barang konsumsi. Pasalnya, pada penutupan perdagangan kemarin, indeks sektor barang konsumsi menyentuh titik terendahnya sejak 30 November 2018 silam.

Secara fundamental, memang sektor barang konsumsi sedang berada dalam posisi yang oke. Berdasarkan Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dirilis Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel diketahui melesat hingga 9,1% secara tahunan pada Februari 2019, mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya yakni pertumbuhan sebesar 1,5%.

Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 adalah sebesar 8%, juga jauh mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 2,5%.

Lantas, sepanjang 3 bulan pertama tahun ini pertumbuhan penjualan barang-barang ritel selalu berhasil mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk periode Januari 2019, penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 7,2%, lebih baik dari capaian Januari 2018 yakni kontraksi sebesar 1,8%.

Pesatnya pertumbuhan penjualan barang-barang ritel menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang kuat, sehingga emiten-emiten yang bergerak di sektor barang konsumsi berpotensi diuntungkan.

Kemudian, berdasarkan survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI) hingga pekan kedua bulan April, terjadi inflasi sebesar 0,25% secara bulanan. Secara tahunan, tingkat inflasi berada di level 2,64%. Capaian ini masih berada jauh di bawah perkiraan BI bahwa inflasi akan bergerak di rentang 3-3,2% pada tahun 2019.

Dengan inflasi yang terkendali, konsumsi masyarakat bisa terus didorong naik yang pada akhirnya akan lagi-lagi menguntungkan emiten-emiten sektor barang konsumsi.

Saham-saham barang konsumsi yang diburu investor pada hari ini di antaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+2,02%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (+3,14%), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (+1,94%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (+1,35%), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (+1,6%). Sayang, aksi jual yang dilakukan investor asing membatasi penguatan IHSG. Hingga akhir perdagangan, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 138,7 miliar di pasar saham tanah air.

Pelemahan rupiah memaksa investor asing untuk hengkang dari pasar saham Indonesia. Ketika rupiah melemah, investor asing berpotensi menderita kerugian kurs sehingga aksi jual di pasar saham pun mereka lakukan.

Walaupun ditutup flat pada perdagangan hari ini di level Rp 14.070/dolar AS, rupiah cenderung diperdagangkan melemah sepanjang hari ini. Titik terlemah rupiah pada hari ini berada di level Rp 14.085/dolar AS (melemah 0,11% dibandingkan penutupan perdagangan hari Senin, 22/4/2019).

Memudarnya ekspektasi bahwa The Federal Reserve/The Fed selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini menjadi bensin yang membuat dolar AS mampu menaklukkan rupiah.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 23 April 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini adalah sebesar 36,9%, turun dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 38,1%. Jika dibandingkan dengan posisi bulan lalu yang sebesar 38,8%, maka penurunannya lebih besar lagi.

Sementara itu, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps turun menjadi 10,1% dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 10,8%. Sebulan yang lalu, probabilitasnya berada di angka 13,1%.

Kinclongnya data-data ekonomi yang dirilis di AS memberikan persepsi kepada investor bahwa belum ada urgensi bagi The Fed untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Praktis, dolar AS mendapatkan suntikan energi melawan rupiah.

Selain itu, kinerja rupiah juga tertekan oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Hingga sore hari, harga minyak WTI kontrak pengiriman bulan Mei menguat 0,75% ke level US$ 66,04/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juni naik 0,62% ke level US$ 74,5/barel.

Kala harga minyak menguat, ada kemungkinan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan melebar, mengingat status Indonesia sebagai net importir minyak mentah.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular