
Rupiah Tak Menguat Tapi Jadi Terbaik Ketiga Asia, Kok Bisa?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 April 2019 16:30

Dolar AS tidak hanya menguat di Asia, tetapi juga secara global. Pada pukul 16:16 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,04%.
Kekuatan dolar AS datang dari proyeksi terbaru seputar pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. The Federal Reserve/The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2019 sebesar 2,8% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Lebih baik ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu 2,4%.
Proyeksi ini semakin mempertegas bahwa ekonomi Negeri Adidaya masih kuat, sehingga kekhawatiran terhadap risiko resesi bisa dikesampingkan dulu. Akhir pekan lalu, data penjualan ritel di AS juga menggembirakan dengan pertumbuhan 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017.
Kemudian klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. Ini merupakan klaim terendah sejak September 1969.
Artinya, tekanan inflasi masih akan membayangi perekonomian AS sehingga kemungkinan The Fed belum mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Hal ini bisa menjadi sentimen positif bagi dolar AS.
Selain itu, perkembangan harga minyak juga masih memberikan tekanan kepada rupiah sehingga sulit menguat. Pada pukul 16:18 WIB, harga minyak jenis light sweet masih melonjak 2,59% dan brent naik 0,32%.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak berpotensi menjadi musibah. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ketika harga minyak melonjak, maka biaya importasi komoditas ini pun ikut membengkak. Akibatnya, tekanan di transaksi berjalan (current account) akan semakin berat dan rupiah kian kekurangan modal untuk menguat.
(aji/aji)
Kekuatan dolar AS datang dari proyeksi terbaru seputar pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. The Federal Reserve/The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2019 sebesar 2,8% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Lebih baik ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu 2,4%.
Proyeksi ini semakin mempertegas bahwa ekonomi Negeri Adidaya masih kuat, sehingga kekhawatiran terhadap risiko resesi bisa dikesampingkan dulu. Akhir pekan lalu, data penjualan ritel di AS juga menggembirakan dengan pertumbuhan 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017.
Artinya, tekanan inflasi masih akan membayangi perekonomian AS sehingga kemungkinan The Fed belum mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Hal ini bisa menjadi sentimen positif bagi dolar AS.
Selain itu, perkembangan harga minyak juga masih memberikan tekanan kepada rupiah sehingga sulit menguat. Pada pukul 16:18 WIB, harga minyak jenis light sweet masih melonjak 2,59% dan brent naik 0,32%.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak berpotensi menjadi musibah. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ketika harga minyak melonjak, maka biaya importasi komoditas ini pun ikut membengkak. Akibatnya, tekanan di transaksi berjalan (current account) akan semakin berat dan rupiah kian kekurangan modal untuk menguat.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular