
Waspada! Harga Minyak Naik, Tertinggi Sejak November 2018
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 April 2019 09:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak masih terus merangkak naik pada perdagangan Selasa (23/4/2019) pagi. Berakhirnya keringanan sanksi AS atas Iran masih menjadi motor yang kuat mendorong harga ke atas.
Pada pukul 08:30 WIB, harga Brent kontrak pengiriman Juni menguat 0,35% ke posisi US$ 74,3/barel yang merupakan posisi tertinggi sejak 1 November 2018. Sedangkan light sweet (WTI) naik 0,14% ke posisi US$ 65,79/barel.
Penguatan harga minyak masih terus terjadi setelah kemarin (22/4/2019) sempat meroket, dimana Brent dan WTI ditutup menguat masing-masing sebesar 2,88% dan 2,66%.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada hari Senin (22/3/2019) waktu setempat mengonfirmasi pencabutan keringanan sanksi atas Iran.
Gedung Putih telah secara terang-terangan meminta kepada seluruh pembeli minyak Iran untuk tidak melakukannya lagi mulai tanggal 1 Mei mendatang, seperti yang dilansir dari Reuters. Bila tidak diindahkan, AS mengancam akan memberi sanksi.
Sejak bulan November 2018, AS sudah sudah menjatuhkan sanksi tersebut, karena Iran tetap bersikukuh melanjutkan program nuklir. Namun Negeri Paman Sam masih memberikan keringanan dengan memperbolehkan delapan negara (China, India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Turki, Italia, dan Yunani) untuk mengimpor minyak Iran.
Dengan adanya keringanan, ekspor minyak Iran sebenarnya sudah terpangkas cukup banyak. Berdasarkan Refinitiv, jumlah ekspor minyak Iran pada bulan hanya sebesar 1,68 juta barel/hari. Bahkan pada bulan April ini masih kurang dari 1 juta barel/hari.
Padahal sebelum adanya sanksi, Iran merupakan produsen minyak terbesar keempat di antara anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dengan kapasitas hampir mencapai 3 juta barel/hari.
Selain itu, AS juga masih memberlakukan sanksi terhadap Venezuela, membuat pasokan dunia semakin ketat. Karena adanya konflik politik, seluruh penduduk AS (baik perorangan maupun perusahaan) dilarang untuk melakukan transaksi minyak dengan Venezuela. Alhasil Venezuela sulit untuk melepas pasokan minyaknya ke pasar, karena diketahui AS merupakan tujuan ekspor minyak yang utama.
Beralih ke Afrika, konflik bersenjata yang masih terjadi di Libya juga ikut berperan mengurangi pasokan minyak global. Mengutip CNN, perang saudara yang berpusat di Ibu Kota Tripoli sampai saat ini sudah menewaskan 121 orang dan melukai 561 lainnya.
Keadaan konflik sudah tentu tidak baik bagi aktifitas pengeboran minyak. Produksi minyak Libya berpeluang besar terpangkas cukup dalam.
Akan tetapi sejumlah gangguan pasokan minyak yang tak terduga, juga berpotensi membuat OPEC dan sekutunya meningkatkan produksi setelah tengah tahun ini. Pasalnya kesepakatan OPEC+ (OPEC dan sekutunya termasuk Rusia) untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari hanya berlaku sampai akhir Juni 2019.
Ini Pemicu Kenaikkan Harga Minyak
[Gambas:Video CNBC]
Pertemuan OPEC+ untuk membahas kelanjutan kebijakan tersebut baru akan dilakukan tangga 25-26 Juni nanti.
Namun sejauh ini Rusia sudah sangat ingin menambah produksi minyaknya, dengan mempertimbangkan harga yang sudah 'normal'.
Menteri Energi Rusia, Alexander Novak mengatakan bahwa produksi minyak Negeri Beruang Merah akan ditingkatkan apabila tidak ada kesepakatan baru dengan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) hingga tanggal 1 Juli 2019, seperti yang dilansir dari Reuters.
"Tahun ini [2019] kami memperkirakan [produksi minyak] akan mirip dengan tahun lalu, mungkin sedikit lebih tinggi," ujar Novak, Jumat (5/4/2019).
Bila itu terjadi, maka pasokan global akan meningkat dan membuat harga kembali berada dalam tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Pada pukul 08:30 WIB, harga Brent kontrak pengiriman Juni menguat 0,35% ke posisi US$ 74,3/barel yang merupakan posisi tertinggi sejak 1 November 2018. Sedangkan light sweet (WTI) naik 0,14% ke posisi US$ 65,79/barel.
Penguatan harga minyak masih terus terjadi setelah kemarin (22/4/2019) sempat meroket, dimana Brent dan WTI ditutup menguat masing-masing sebesar 2,88% dan 2,66%.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada hari Senin (22/3/2019) waktu setempat mengonfirmasi pencabutan keringanan sanksi atas Iran.
Gedung Putih telah secara terang-terangan meminta kepada seluruh pembeli minyak Iran untuk tidak melakukannya lagi mulai tanggal 1 Mei mendatang, seperti yang dilansir dari Reuters. Bila tidak diindahkan, AS mengancam akan memberi sanksi.
Sejak bulan November 2018, AS sudah sudah menjatuhkan sanksi tersebut, karena Iran tetap bersikukuh melanjutkan program nuklir. Namun Negeri Paman Sam masih memberikan keringanan dengan memperbolehkan delapan negara (China, India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Turki, Italia, dan Yunani) untuk mengimpor minyak Iran.
Dengan adanya keringanan, ekspor minyak Iran sebenarnya sudah terpangkas cukup banyak. Berdasarkan Refinitiv, jumlah ekspor minyak Iran pada bulan hanya sebesar 1,68 juta barel/hari. Bahkan pada bulan April ini masih kurang dari 1 juta barel/hari.
Padahal sebelum adanya sanksi, Iran merupakan produsen minyak terbesar keempat di antara anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dengan kapasitas hampir mencapai 3 juta barel/hari.
Selain itu, AS juga masih memberlakukan sanksi terhadap Venezuela, membuat pasokan dunia semakin ketat. Karena adanya konflik politik, seluruh penduduk AS (baik perorangan maupun perusahaan) dilarang untuk melakukan transaksi minyak dengan Venezuela. Alhasil Venezuela sulit untuk melepas pasokan minyaknya ke pasar, karena diketahui AS merupakan tujuan ekspor minyak yang utama.
Beralih ke Afrika, konflik bersenjata yang masih terjadi di Libya juga ikut berperan mengurangi pasokan minyak global. Mengutip CNN, perang saudara yang berpusat di Ibu Kota Tripoli sampai saat ini sudah menewaskan 121 orang dan melukai 561 lainnya.
Keadaan konflik sudah tentu tidak baik bagi aktifitas pengeboran minyak. Produksi minyak Libya berpeluang besar terpangkas cukup dalam.
Akan tetapi sejumlah gangguan pasokan minyak yang tak terduga, juga berpotensi membuat OPEC dan sekutunya meningkatkan produksi setelah tengah tahun ini. Pasalnya kesepakatan OPEC+ (OPEC dan sekutunya termasuk Rusia) untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari hanya berlaku sampai akhir Juni 2019.
Ini Pemicu Kenaikkan Harga Minyak
[Gambas:Video CNBC]
Pertemuan OPEC+ untuk membahas kelanjutan kebijakan tersebut baru akan dilakukan tangga 25-26 Juni nanti.
Namun sejauh ini Rusia sudah sangat ingin menambah produksi minyaknya, dengan mempertimbangkan harga yang sudah 'normal'.
Menteri Energi Rusia, Alexander Novak mengatakan bahwa produksi minyak Negeri Beruang Merah akan ditingkatkan apabila tidak ada kesepakatan baru dengan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) hingga tanggal 1 Juli 2019, seperti yang dilansir dari Reuters.
"Tahun ini [2019] kami memperkirakan [produksi minyak] akan mirip dengan tahun lalu, mungkin sedikit lebih tinggi," ujar Novak, Jumat (5/4/2019).
Bila itu terjadi, maka pasokan global akan meningkat dan membuat harga kembali berada dalam tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular