Khasiat Jokowi Effect Mulai Reda, Rupiah Tak Lagi Tahan Lama

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 April 2019 09:27
Khasiat Jokowi Effect Mulai Reda, Rupiah Tak Lagi Tahan Lama
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kini melemah di perdagangan pasar spot. Sepertinya khasiat obat kuat bernama Jokowi Effect sudah pudar. 

Pada Senin (22/4/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.055. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Jumat Agung. 

Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa stagnan di Rp 14.040/US$. Namun itu ternyata tidak bisa bertahan lama.

 
Rupiah pun kini berada di jalur yang sama dengan mata uang utama Asia, yaitu di jalur merah. Hanya rupee India dan yuan China yang masih bisa menguat di hadapan dolar AS, mata uang lainnya tidak selamat. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:17 WIB: 



Rupiah akhirnya tidak mampu melawan arus penguatan dolar AS yang melanda Asia. Dolar AS mendapat kekuatan atas mata uang Asia karena data-data ekonomi yang ciamik.  

Penjualan ritel di AS pada Maret naik 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017. Jauh membaik dibandingkan Februari yang turun 0,2% MoM. 

Sementara penjualan ritel inti naik 1% MoM, juga membaik ketimbang Februari yang minus 0,3%. Penjualan ritel inti mencerminkan konsumsi rumah tangga dalam komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB). 

Data lainnya adalah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. ini merupakan klaim terendah sejak September 1969. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kemudian, harga minyak juga tidak suportif buat rupiah. Pada pukul 09:09 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masing-masing 2,04% dan 1,88%. 

Lesatan harga si emas hitam disebabkan oleh akan berakhirnya masa keringanan bagi sejumlah negara untuk mengimpor minyak dari Iran. Tahun lalu, AS menjatuhkan sanksi larangan ekspor minyak kepada Negeri Persia tetapi memberi keringanan kepada delapan negara. 

Nah, masa keringanan itu akan habis pada 2 Mei mendatang sehingga pasar mulai gugup. Jangan-jangan nanti pasokan minyak di pasar global bakal seret karena tidak ada pasokan dari Iran. Persepsi berkurangnya pasokan membuat harga minyak bergerak ke utara alias menguat. 

Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih menjadi sebuah bencana. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Jika harga minyak naik, maka biaya importasi komoditas ini akan semakin mahal. Akhirnya beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan semakin dalam sehingga rupiah kekurangan modal untuk menguat. 

Sementara dari dalam negeri, ada sinyal bahwa Jokowi Effect mulai pudar. Pekan lalu, sentimen ini sangat ampuh mendorong pasar keuangan Indonesia, termasuk rupiah yang menjadi mata uang terbaik di Asia. 


Namun rasanya sentimen itu sudah kadaluarsa. Jokowi Effect sudah sulit membuat rupiah bisa tahan lama, khasiatnya mulai mereda. Minimnya sentimen domestik membuat rupiah terombang-ambing terbawa arus penguatan dolar AS yang menerjang Asia. 



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular