Suspensi Dibuka, Saham Maskapai Grup MNC Ini Masih Tidur

tahir saleh, CNBC Indonesia
15 April 2019 10:22
Saham emiten penerbangan milik Grup MNC, PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA) masih stagnan di level Rp 50/saham.
Foto: Indonesia Air/iat.co.id
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten penerbangan milik Grup MNC, PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA) masih stagnan di level Rp 50/saham pada pagi ini, Senin (15/4/2019), meski baru saja suspensi perdagangannya dibuka oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).

BEI membuka suspensi atau penghentian sementara perdagangan saham IATA pada Senin ini setelah perusahaan melakukan pembayaran annual listing fee atau biaya pencatatan tahunan dan denda.

Sebelumnya saham IATA disuspensi pada 18 Februari 2019 bersama dengan 12 emiten lainnya dengan alasan pelanggaran serupa yakni belum adanya pembayaran biaya pencatatan.


"Sejak sesi I tanggal 15 April 2019, saham Indonesia Transport sudah dapat diperdagangan di seluruh pasar," tulis pengumuman BEI hari ini.

Namun tak ada transaksi yang terjadi, sementara nilai kapitalisasi pasar baru mencapai Rp 498 miliar dengan level price to earning ratio (PER) minus 4,55 kali.

Stagnasi ini bahkan sudah terjadi selama 3 tahun terakhir, bahkan dalam 5 tahun terakhir, saham IATA minus 40,48%.

Perseroan tergabung dalam kelompok usaha PT MNC Investama Tbk (BHIT)--induk dari Grup MNC milik taipan Hary Tanoesoedibjo. Perusahaan penerbangan dengan brand Indonesia Air ini beroperasi secara komersial Sejak tahun 1969 dengan area operasi di Balikpapan (Kaltim), Denpasar, dan Jakarta.

Pada 6 Mei 2012, perseroan bersama Koperasi Karyawan PT Bhakti Investama Tbk (kini bernama MNC Investama), mendirikan PT MNC Infrastruktur Utama di bisnis jasa pelabuhan, dengan komposisi saham milik perseroan 99,99% dan koperasi karyawan BHIT 0,01%.

Bisnis utama perusahaan di jasa pengangkutan udara, penyewaan, perdagangan, agen penjualan dan jasa pengamanan bandara.

Laporan keuangan tahun 2018 mencatat pendapatan IATA naik 
menjadi US$ 20,28 juta atau sekitar Rp 284 miliar (asumsi kurs Rp 14.000/US$) dari tahun sebelumnya US$ 16,10 juta, tapi perusahaan masih merugi US$ 7,25 juta (Rp 102 miliar), membengkak dari rugi bersih 2017 yakni US$ 6,77 juta.


(tas/hps) Next Article Garap Batu Bara, Emiten Hary Tanoe Dapat 2 Investor Baru!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular