Debat Pamungkas

Jokowi Sudah Panggil 'Ghostbusters', Hantu CAD Enggan Pergi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 April 2019 07:04
Jokowi Sudah Panggil 'Ghostbusters', Hantu CAD Enggan Pergi
Capres dan Cawapres 01 Jokowi-Ma'ruf Amin (AP/Tatan Syuflana)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ada hantu bergentayangan di Indonesia. Namanya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Hantu ini terus menakuti-nakuti dan belum bisa diusir sejak datang pada 2011. 

Begitu krusialnya masalah ini sampai-sampai kembali disinggung dalam debat Capres-Cawapres pamungkas, kemarin (13/2/2019). Capres nomor urut 01 yang juga calon petahana Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa defisit transaksi berjalan pada kuartal I-2019 sebesar US$ 6,7 miliar, turun dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar US$ 9,15 miliar atau 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

"Kuartal I tahun ini defisit turun menjadi US$ 6,7 miliar. Usaha kita mati-matian turunkan defisit," kata Jokowi dalam Debat Capres-Cawapres terakhir, di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/201). 


Namun Pak Jokowi, kalau dibandingkan dengan kuartal I-2018 defisit transaksi berjalan sebenarnya naik. Kala itu, defisit transaksi berjalan adalah US$ 5,34 miliar atau 2,07% PDB. 



Intinya adalah, hantu defisit transaksi berjalan belum bisa diberantas. Dia masih mengganggu, dan dampak gangguannya merambat ke mana-mana.  

Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan devisa yang masuk dan keluar dari ekspor-impor barang dan jasa. Sumber devisa dari sektor perdagangan ini lebih bertahan lama, tidak gampang keluar-masuk seperti dari kamar sebelah yaitu investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money. 

Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi yang sangat penting bagi stabilitas nilai tukar mata uang. Kalau transaksi berjalan masih defisit, nilai tukar mata uang menjadi cenderung fluktuatif karena menggantungkan nasib dari hot money yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik. 

Itu lah yang terjadi kepada rupiah. Sejak Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan pada akhir 2011, rupiah cenderung melemah.

Jika pada awal 2011 dolar AS masih dihargai sekitar Rp 9.000, akhir pekan lalu dibanderol Rp 14.090. Pelemahannya mencapai 56,5%.
 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Transaksi berjalan sejatinya adalah fenomena sektor riil, karena bagaimana pun menggambarkan arus devisa dari perdagangan. Namun karena pos ini berefek kepada stabilitas rupiah, mau tidak mau Bank Indonesia (BI) harus turun tangan. 

Sudah cukup lama kalimat "mengendalikan defisit transaksi berjalan" selalu keluar dalam pernyataan BI setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang menentukan suku bunga acuan.


Artinya, kebijakan moneter kini sudah bergeser dari awalnya ditujukan untuk mengendalikan inflasi menjadi menjinakkan defisit transaksi berjalan. Dengan instrumen yang terbatas, cara yang bisa dilakukan BI adalah menaikkan suku bunga acuan.

Saat suku bunga naik, maka diharapkan aktivitas ekonomi melambat sehingga impor turun dan mengurangi defisit transaksi berjalan. Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat hot money mengalir deras dan mampu menutup defisit valas di sektor perdagangan. Dengan demikian, rupiah diharapkan bisa lebih stabil.

Inilah yang membuat BI menaikkan suku bunga acuan sampai 175 basis poin pada 2018. Sungguh bukan keputusan yang mudah, karena dampak terbesarnya adalah pelambatan laju pertumbuhan ekonomi. Semoga tidak terjadi... 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Apakah cuma BI yang bekerja untuk menurunkan defisit transaksi berjalan? Tentu tidak.

Seperti yang dikatakan oleh Jokowi, pemerintah pun bekerja mati-matian. Setidaknya ada 2 pekerjaan besar yang dilakukan pemerintah yaitu melalui Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) yang berjilid-jilid itu dan kewajiban pencampuran biodiesel sebesar 20% dalam bahan bakar solar alias B20. 

Sebenarnya melalui PKE pemerintah sudah mampu mengidentifikasi solusi untuk menuntaskan defisit transaksi berjalan, yaitu menekan berbagai hambatan dalam ekspor dan investasi serta mengurangi ketergantungan impor. Misalnya di PKE II yang menitikberatkan pada pengembangan Pusat Logistik Berikat (PLB).

PLB memberikan insentif berupa pembebasan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), serta penangguhan bea masuk. Saat ini sudah ada 79 PLB yang tersebar di 118 lokasi.

Melalui PLB, dunia usaha bisa mendatangkan bahan baku impor tanpa khawatir urusan pajak dan bea masuk. Dengan begitu industri dalam negeri bisa lebih berkembang dan ke depan ketergantungan terhadap impor bisa dikurangi. 

Lalu dengan B20, pemerintah juga bisa melihat bahwa salah satu faktor penyebab defisit transaksi berjalan adalah impor migas. Pada kuartal IV-2018, impor migas bernilai US$ 8,2 miliar yang menyebabkan neraca migas defisit US$ 3,55 miliar.  

Sebagai bagian dari neraca migas, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor solar sepanjang 2018 adalah US$ 3,59 miliar. Inilah yang coba diatasi dengan B20. Dengan posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) nomor 1 dunia, tentu B20 diharapkan mampu menekan impor migas sehingga mengurangi beban transaksi berjalan. 

Betul BI dan pemerintah sudah bekerja mati-matian. Namun (nyuwun sewu, Pak) hasilnya masih jauh panggang dari api. 

Defisit transaksi berjalan, seperti yang dikatakan Jokowi, memang turun dibandingkan kuartal IV-2018. Namun polanya memang seperti itu, aktivitas ekonomi yang belum 'panas' pada awal tahun membuat impor pun belum banyak. Jadi wajar kalau ada penurunan. 

Sedangkan dibandingkan dengan kuartal I-2018, defisit transaksi berjalan masih naik. Artinya, ya bisa dibilang situasi masih belum membaik amat. Hantu transaksi berjalan masih penasaran, dan masih saja seram. 

Meski BI dan pemerintah sudah memanggil 'Ghostbusters' berwujud kenaikan suku bunga acuan, PKE, sampai B20, ternyata hantu transaksi berjalan masih gagal diusir. Dijinakkan pun masih sulit. 

Jadi, ada baiknya pemerintah menggenjot efektivitas PKE agar dampaknya benar-benar terasa. Jangan hanya mengandalkan PLB, sementara paket-paket lainnya agak mendem. 

Sebenarnya apa yang dilakukan pada PKE XV lumayan oke, yaitu pengembangan industri perkapalan nasional. Pemerintah memberlakukan bebas bea masuk untuk 115 jenis suku cadang kapal dan memberi peluang lebih besar kepada perusahaan pelayaran nasional untuk melayani angkutan khusus seperti kapal tanker atau bulker.

Target dari kebijakan ini adalah membuka peluang pelayaran nasional melayani angkutan ekspor-impor sekitar US$ 600 juta/tahun serta investasi perkapalan sekitar 70-100 unit kapal baru senilai US$ 700 juta. 

Ini juga merupakan salah satu 'obat' bagi defisit transaksi berjalan. Pada kuartal IV-2018, neraca transportasi mencatat defist US$ 2,46 miliar sedangkan sepanjang 2018 defisitnya mencapai US$ 8,84 miliar. Penyebabnya adalah ketegantungan Indonesia terhadap maskapai pelayaran asing untuk melayani kegiatan ekspor-impor.

Andai PKE XV berjalan efektif dan industri perkapalan nasional berkembang, maka ketergantungan itu bisa dikikis dan defisit neraca transportasi bisa dikurangi. Namun, sampai detik ini semuanya hanya andai belaka.

Kemudian, B20 juga perlu digalakkan. Apalagi saat ini sedang ada hambatan ekspor CPO ke Eropa. Blessing in disguise, hambatan ekspor ini bisa membuat pasokan CPO di dalam negeri berlimpah dan bisa dimanfaatkan untuk mendorong program B20.

Jika PKE dan B20 sukses, maka BI bisa lebih tenang dan mengalihkan fokusnya dari menjaga stabilitas menjadi mendorong pertumbuhan ekonomi. Suku bunga acuan turun, bunga KPR turun, semua bahagia...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular