
Andai Ada Waktu, Rupiah Mungkin Bukan Terlemah Kedua di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 April 2019 16:48

Kedua adalah penantian pasar jelang rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi Maret. Dalam rapat tersebut, Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% atau media 2,375%. The Fed juga mengubah proyeksi posisi suku bunga pada akhir 2019 dari 2,875% menjadi 2,375% alias kemungkinan tidak berubah dari saat ini.
Namun pelaku pasar ingin membaca seperti apa 'suasana kebatinan' dalam rapat itu. Bagaimana perdebatan di dalamnya? Apakah aura kalem (dovish) benar-benar kental di dalam rapat?
Sembari menantikan rilis notulensi ini, pelaku pasar memilih melepas dolar AS. Apalagi kalau nanti notulensi rapat benar-benar memperlihat bahwa The Fed sangat dovish. Dolar AS akan semakin tertekan.
Namun mengapa rupiah gagal memanfaatkan angin segar tersebut? Salah satunya adalah gara-gara harga minyak yang bergerak ke utara alias naik. Pada pukul 16:30 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet masing-masing naik 0,59% dan 0,75%.
Penyebabnya adalah ketatnya pasokan karena sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela. Ditambah lagi para anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga masih menjalankan pemotongan produksi mencapai 1,2 juta barel/hari.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum memadai.
Saat harga minyak naik, biaya impor komoditas ini akan membengkak. Kebutuhan valas akan melonjak, dan tentu menekan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Namun pelaku pasar ingin membaca seperti apa 'suasana kebatinan' dalam rapat itu. Bagaimana perdebatan di dalamnya? Apakah aura kalem (dovish) benar-benar kental di dalam rapat?
Sembari menantikan rilis notulensi ini, pelaku pasar memilih melepas dolar AS. Apalagi kalau nanti notulensi rapat benar-benar memperlihat bahwa The Fed sangat dovish. Dolar AS akan semakin tertekan.
Penyebabnya adalah ketatnya pasokan karena sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela. Ditambah lagi para anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga masih menjalankan pemotongan produksi mencapai 1,2 juta barel/hari.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum memadai.
Saat harga minyak naik, biaya impor komoditas ini akan membengkak. Kebutuhan valas akan melonjak, dan tentu menekan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular