Andai Ada Waktu, Rupiah Mungkin Bukan Terlemah Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 April 2019 16:48
Andai Ada Waktu, Rupiah Mungkin Bukan Terlemah Kedua di Asia
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini ditutup melemah. Mata uang Tanah Air melemah sejak pembukaan pasar, dan terus berada di zona merah hingga tutup 'lapak'. 

Pada Rabu (10/4/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.145 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah tetapi tipis saja di 0,07%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah terus bertambah dalam. 


Namun jelang penutupan pasar, rupiah mampu perlahan menipiskan pelemahan. Meski begitu, tidak ada cukup waktu bagi rupiah untuk menyeberang ke zona hijau. Sehingga saat pasar tutup, rupiah masih terjebak di teritori depresiasi. 

Berikut perjalanan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Padahal, mungkin saja (sekali lagi, mungkin) rupiah bisa berbalik menguat seandainya masih ada waktu. Sebab beberapa mata uang utama Asia seperti dolar Hong Kong, won Korea Selatan, peso Filipina, dan dolar Singapura berhasil melakukannya. 

Namun apa mau dikata, pelemahan rupiah hari ini adalah sesuatu yang harus diterima dengan lapang dada. Bahkan dengan depresiasi 0,11%, rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Benua Kuning, hanya lebih baik dibandingkan ringgit Malaysia. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:11 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS yang sejak malam tadi perkasa kini berangsur mundur teratur. Pada pukul 16:15 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama Asia) sudah melemah 0,02%. 

Mata uang Negeri Paman Sam sempat menguat karena proyeksi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Christine Lagarde dan sejawat merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk 2019 dari 3,5% menjadi 3,3%. Investor yang gundah-gulana karena aura perlambatan ekonomi global yang kian terasa berlomba-lomba mengoleksi aset aman, dalam hal ini dolar AS. 


Namun ternyata sentimen tersebut tidak bertahan lama. Sebab kemudian muncul sentimen positif yang kembali menumbuhkan risk appetite pasar

Pertama adalah perkembangan dari Brussel, arena pertemuan Inggris-Uni Eropa untuk membahas Brexit. Sudah muncul sejumlah komentar dari pemimpin negara-negara Benua Biru yang intinya bersedia menunda waktu perpisahan Inggris dengan Uni Eropa.


"Saya datang ke Brussel dengan pikiran yang terbuka. Saya akan bergabung dengan tim yang menilai akan lebih baik jika memberikan perpanjangan agar Inggris punya lebih banyak waktu," ungkap Lars Lokke Rasmussen, Perdana Menteri Denmark, mengutip Reuters. 

Bahkan gosip yang beredar adalah Uni Eropa siap memberikan waktu kepada Inggris hingga akhir Maret 2020 alias hampir setahun. Meski Prancis sepertinya agak keberatan. "Dalam hal perpanjangan waktu, setahun rasanya terlalu lama buat kami," ujar seorang diplomat Prancis, mengutip Reuters. 

Walau masih belum ada keputusan, tetapi arahnya cukup positif yaitu Inggris akan diberi lebih banyak waktu untuk mempersiapkan Brexit. Dengan begitu, risiko No-Deal Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa) bisa dihindari. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Kedua adalah penantian pasar jelang rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi Maret. Dalam rapat tersebut, Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% atau media 2,375%. The Fed juga mengubah proyeksi posisi suku bunga pada akhir 2019 dari 2,875% menjadi 2,375% alias kemungkinan tidak berubah dari saat ini. 

Namun pelaku pasar ingin membaca seperti apa 'suasana kebatinan' dalam rapat itu. Bagaimana perdebatan di dalamnya? Apakah aura kalem (dovish) benar-benar kental di dalam rapat? 

Sembari menantikan rilis notulensi ini, pelaku pasar memilih melepas dolar AS. Apalagi kalau nanti notulensi rapat benar-benar memperlihat bahwa The Fed sangat dovish. Dolar AS akan semakin tertekan. 

Namun mengapa rupiah gagal memanfaatkan angin segar tersebut? Salah satunya adalah gara-gara harga minyak yang bergerak ke utara alias naik. Pada pukul 16:30 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet masing-masing naik 0,59% dan 0,75%.

Penyebabnya adalah ketatnya pasokan karena sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela. Ditambah lagi para anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga masih menjalankan pemotongan produksi mencapai 1,2 juta barel/hari. 


Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum memadai. 

Saat harga minyak naik, biaya impor komoditas ini akan membengkak. Kebutuhan valas akan melonjak, dan tentu menekan rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular