Penguatan Rupiah Kok Tinggal 0,04%? Ada Apa Ini?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 April 2019 09:31
Penguatan Rupiah <i>Kok</i> Tinggal 0,04%? Ada Apa Ini?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini memang masih menguat di perdagangan pasar spot. Namun apresiasi rupiah menipis. 

Pada Senin (1/4/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.225. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Padahal sebelumnya rupiah sempat menguat sampai 0,14%. 


Bahkan seiring perjalanan pasar rupiah semakin lemah. Pada pukul 09:31 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.230 di mana rupiah hanya menguat 0,04%. Ada apa ini?

Sepertinya investor menunggu rilis data inflasi Maret yang akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month/MoM) sebesar 0,12%. Sementara laju inflasi year-on-year (YoY) adalah 2,5%, dan inflasi inti YoY di 3,055%. 

Secara bulanan, memang terjadi percepatan laju inflasi karena pada Februari terjadi deflasi 0,08%. Namun secara tahunan, diperkirakan ada perlambatan laju inflasi sebab pada Februari lajunya adalah 2,57%. Inflasi pun semakin mantap ke posisi paling lambat sejak November 2009 atau nyaris 10 tahun lalu. 



Pelaku pasar menantikan rilis data ini karena bisa jadi akan menentukan arah gerak rupiah ke depan. Jika inflasi domestik tetap 'santai' seperti yang diperkirakan, maka bisa jadi Bank Indonesia (BI) akan mulai mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan. 

Gubernur BI Perry Warjiyo pernah menyatakan bahwa suku bunga acuan sudah hampir mencapai puncaknya. Bahkan Perry juga membuka kemungkinan untuk menurunkan suku bunga acuan, jika stabilitas ekonomi domestik terjaga. 

Baca: Pengumuman! BI Siap Turunkan Bunga Acuan, Asal...


Inflasi yang 'jinak' tentu menjadi satu indikator stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, kemungkinan menuju penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate kian terbuka saat inflasi terus terjaga rendah. 

Bagi rupiah, mungkin awalnya penurunan suku bunga acuan terdengar kurang bagus karena membuat investasi di aset-aset berbasis mata uang Tanah Air menjadi kurang menguntungkan. Namun secara relatif, berinvestasi di Indonesia masih menguntungkan meski suku bunga acuan diturunkan. 

Sebab, seperti tertuang dalam dot plot, kemungkinan besar The Federal Reserve/The Fed tidak akan menaikkan suku bunga sampai akhir tahun. Federal Funds Rate di median 2,375% akan bertahan hingga akhir 2019. 

Penguatan Rupiah <i>Kok</i> Tinggal 0,07%? Ada Apa Ini?Dot Plot The Fed (federalreserve.gov)
Saat ini BI 7 Day Reverse Repo Rate masih di 6%, selisihnya cukup jauh dengan Federal Funds Rate. Jadi Indonesia masih memberikan suku bunga yang kompetitif meski ada sedikit penurunan. 

Sambil menantikan dan membaca potensi pergerakan rupiah ke depan, sepertinya investor memilih untuk tidak terlalu agresif. Akibatnya, penguatan rupiah berkurang. 

Baca: The Fed Kalem dan Rupiah Kuat, Saatnya BI Turunkan Bunga?


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun rupiah masih mampu bertahan di zona hijau karena memang sudah cukup lama tertekan. Selama sepekan kemarin, rupiah melemah 0,53% sementara sepanjang Maret mata uang Tanah Air terdepresiasi 1,24% di hadapan dolar AS. 



Oleh karena itu, rupiah menyimpan potensi technical rebound. Rupiah yang sudah murah menarik minat investor untuk kembali mengolek mata uang ini. 

Kebetulan risk appetite global juga sedang membuncah. Sejak akhir pekan lalu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun sudah tidak mengalami inversi alias tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. 

Pada pukul 09:14 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan ada di 2,4014% sementara tenor 10 tahun adalah 2,4422%. Sudah normal, yield tenor panjang lebih tinggi ketimbang tenor pendek. 

Artinya, pasar bisa sejenak melupakan isu ancaman resesi AS. Maklum, selama 50 tahun terakhir resesi selalu diawali dengan inversi yield di dua tenor ini. 


Baca: Perhatian! Belajar dari Sejarah, AS Hampir Pasti Resesi


Kemudian data-data di Asia juga menunjukkan hasil yang positif. Di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada Maret tercatat 50,8. Ini menjadi pencapaian terbaik dalam 8 bulan terakhir. 

Sementara di Indonesia, angka PMI versi Nikkei/Markit untuk Maret berada di 51,2 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,1. Angka ini menjadi yang terbaik sejak Desember 2018. 

Data-data ini menunjukkan bahwa geliat dunia usaha masih ada, masih ada ekspansi. Ujungnya tentu akan mendongrak potensi pertumbuhan ekonomi, dan ini mendapat apresiasi dari pasar. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular