
Penguatan Rupiah Kok Tinggal 0,04%? Ada Apa Ini?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 April 2019 09:31

Namun rupiah masih mampu bertahan di zona hijau karena memang sudah cukup lama tertekan. Selama sepekan kemarin, rupiah melemah 0,53% sementara sepanjang Maret mata uang Tanah Air terdepresiasi 1,24% di hadapan dolar AS.
Oleh karena itu, rupiah menyimpan potensi technical rebound. Rupiah yang sudah murah menarik minat investor untuk kembali mengolek mata uang ini.
Kebetulan risk appetite global juga sedang membuncah. Sejak akhir pekan lalu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun sudah tidak mengalami inversi alias tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang.
Pada pukul 09:14 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan ada di 2,4014% sementara tenor 10 tahun adalah 2,4422%. Sudah normal, yield tenor panjang lebih tinggi ketimbang tenor pendek.
Artinya, pasar bisa sejenak melupakan isu ancaman resesi AS. Maklum, selama 50 tahun terakhir resesi selalu diawali dengan inversi yield di dua tenor ini.
Baca: Perhatian! Belajar dari Sejarah, AS Hampir Pasti Resesi
Kemudian data-data di Asia juga menunjukkan hasil yang positif. Di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada Maret tercatat 50,8. Ini menjadi pencapaian terbaik dalam 8 bulan terakhir.
Sementara di Indonesia, angka PMI versi Nikkei/Markit untuk Maret berada di 51,2 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,1. Angka ini menjadi yang terbaik sejak Desember 2018.
Data-data ini menunjukkan bahwa geliat dunia usaha masih ada, masih ada ekspansi. Ujungnya tentu akan mendongrak potensi pertumbuhan ekonomi, dan ini mendapat apresiasi dari pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Oleh karena itu, rupiah menyimpan potensi technical rebound. Rupiah yang sudah murah menarik minat investor untuk kembali mengolek mata uang ini.
Pada pukul 09:14 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan ada di 2,4014% sementara tenor 10 tahun adalah 2,4422%. Sudah normal, yield tenor panjang lebih tinggi ketimbang tenor pendek.
Artinya, pasar bisa sejenak melupakan isu ancaman resesi AS. Maklum, selama 50 tahun terakhir resesi selalu diawali dengan inversi yield di dua tenor ini.
Baca: Perhatian! Belajar dari Sejarah, AS Hampir Pasti Resesi
Kemudian data-data di Asia juga menunjukkan hasil yang positif. Di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada Maret tercatat 50,8. Ini menjadi pencapaian terbaik dalam 8 bulan terakhir.
Sementara di Indonesia, angka PMI versi Nikkei/Markit untuk Maret berada di 51,2 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,1. Angka ini menjadi yang terbaik sejak Desember 2018.
Data-data ini menunjukkan bahwa geliat dunia usaha masih ada, masih ada ekspansi. Ujungnya tentu akan mendongrak potensi pertumbuhan ekonomi, dan ini mendapat apresiasi dari pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular