The Fed Kalem dan Rupiah Kuat, Saatnya BI Turunkan Bunga?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 March 2019 09:42
BI Sudah Bisa Turunkan Bunga Acuan?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Rupiah dkk di Asia berhasil menguat seiring hasil rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee). Jerome 'Jay' Powell dan kolega memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% atau median 2,375%, sesuai ekspektasi pasar. 

Kemudian, The Fed juga mengubah dot plot (arah suku bunga acuan hingga jangka menengah). Pada dot plot edisi Desember 2018, The Fed masih menargetkan median suku bunga acuan di 2,875% pada akhir 2019 sehingga butuh dua kali kenaikan lagi dari posisi sekarang. 

Namun di dot plot teranyar, The Fed memperkirakan median suku bunga acuan pada akhir tahun ada di 2,375% atau sama seperti saat ini. Artinya, kemungkinan besar tidak akan ada kenaikan suku bunga hingga akhir 2019. 

Dolar AS pun ditinggalkan para pengikut setianya, karena tanpa kenaikan suku bunga berinvestasi di mata uang ini menjadi kurang mendatangkan cuan. Arus modal yang meninggalkan dolar AS mengalir ke berbagai penjuru, termasuk ke Asia (tidak terkecuali Indonesia). 


Sikap (stance) The Fed yang semakin kalem alias dovish ini membuat Bank Indonesia (BI) punya ruang untuk mempertimbangkan bagaimana arah kebijakan suku bunga ke depan. Hari ini, pasar memperkirakan Gubernur Perry Warijyo dan rekan masih mempertahankan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate di angka 6%. 


Ke depan, ada kemungkinan BI bisa menurunkan suku bunga acuan. The Fed yang tidak lagi agresif membuat arus modal tidak menjadikan dolar AS sebagai pilihan utama. Ini membuat rupiah relatif aman, karena pasar keuangan Indonesia masih bisa bersaing dengan suku bunga yang sekarang (atau yang sedikit lebih rendah). 

Ditambah lagi laju inflasi domestik masih sangat 'santai'. Hingga Februari, inflasi tercatat 2,57% year-on-year (YoY) atau terendah sejak November 2009. 

Dua faktor ini bisa menjadi pertimbangan bagi BI untuk mengkaji arah kebijakan moneter. Mungkin BI sudah bisa mulai merenung dan menimbang-nimbang untuk masuk dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Caranya adalah dengan menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi dunia usaha. 

Akan tetapi untuk saat ini sepertinya masih terlalu awal untuk bicara penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate. Sebab, Indonesia masih punya sebuah pekerjaan rumah besar yang belum selesai bernama defisit transaksi berjalan (current account deficit). 

Selama Indonesia masih mengidap defisit transaksi berjalan, maka rupiah masih akan dihantui oleh risiko pelemahan. Pasalnya, fondasi rupiah berupa devisa dari perdagangan barang dan jasa masih rapuh.  

Saat rupiah masih berisiko melemah, tentu BI belum bisa sepenuhnya tenang. BI masih harus menjaga rupiah agar stabil, dan itu dilakukan dengan menjaga defisit transaksi berjalan agar tidak terlalu dalam. Caranya adalah dengan sedikit mengetatkan ekonomi melalui instrumen suku bunga agar permintaan domestik tidak meningkat tajam. 

Kesimpulannya, perkembangan terkini dari The Fed, penguatan rupiah, sampai inflasi memang membuka pintu bagi BI untuk mulai mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan. Namun pintu itu masih sulit dimasuki karena dijaga oleh monster bernama defisit transaksi berjalan.

You shall not pass!

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular