
Berkaca pada Sejarah, Jangan Beli Saham Bulan Depan!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 March 2019 17:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan terakhir di bulan Maret sudah berakhir dan perdagangan pertama di bulan April akan dimulai pada Senin depan (1/3/2019). Memasuki bulan yang baru, mungkin ada optimisme yang menyelimuti para pelaku pasar saham.
Apalagi, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa dibilang mengecewakan sepanjang bulan Maret. Sepanjang bulan ini, IHSG hanya membukukan penguatan sebesar 0,39%, jauh di bawah rata-rata imbal hasil bulan Maret dalam 5 tahun terakhir (2014-2018) yang sebesar 0,64%.
Namun, pelaku pasar sudah selayaknya berhati-hati. Pasalnya, sejarah menunjukkan bahwa April bukan merupakan bulan yang tepat untuk masuk ke pasar saham Indonesia.
Dalam 5 tahun terakhir, IHSG membukukan imbal hasil negatif sebanyak 3 kali pada bulan April dan 2 kali membukukan imbal hasil positif. Jika dirata-rata, IHSG jatuh sebesar 1,5% pada bulan April.
Perang Dagang Jadi Risiko Utama
Perang dagang AS-China menjadi risiko utama bagi pasar saham tanah air di bulan April. Memang, sejauh ini damai dagang antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut terasa kian dekat.
Hari ini merupakan hari terakhir dari negosiasi dagang AS-China yang digelar di Beijing setelah dimulai kemarin. Negosiasi kali ini merupakan negosiasi tingkat tinggi lantaran melibatkan tokok-tokoh penting dari kedua negara.
Pihak AS mengirim kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara pihak China mengutus Wakil Perdana Menteri Liu He untuk menjamu perwakilan AS. Pada pekan depan, negosiasi akan dilanjutkan di Washington.
Dalam negosiasi dagang teranyar dengan AS tersebut, pejabat pemerintahan AS mengatakan bahwa China menawarkan proposal yang lebih berani dibandingkan yang mereka tawarkan sebelumnya, termasuk proposal guna mengatasi masalah pemaksaan transfer teknologi, seperti dikutip dari Reuters.
"Mereka (China) berbicara mengenai pemaksaan transfer teknologi dalam koridor yang sebelumnya tak pernah ingin mereka bicarakan - baik dalam cakupan maupun detilnya," papar pejabat tersebut kepada Reuters.
Pejabat tersebut juga mengungkapkan bahwa para negosiator telah membuat kemajuan terkait dengan penulisan kesepakatan dagang kedua negara.
"Jika Anda melihat (draf) kesepakatan tertulis sebulan yang lalu dibandingkan dengan saat ini, kami telah menciptakan kemajuan di semua bidang."
Namun, bukan berarti kesepakatan dagang benar-benar akan segera diteken. Bisa jadi, kesepakatan dagang kedua negara baru disegel pada pertengahan tahun.
"Bisa Mei, Juni, tidak ada yang tahu. Bisa juga April, kami tidak tahu," ujar pejabat pemerintahan AS yang lain, mengutip Reuters.
Jika negosiasi kelewat berlarut-larut, maka ketidakpastian yang mewarnai proses penyusunan kesepakatan dagang sangat berpotensi menekan kinerja bursa saham dunia, termasuk Indonesia.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Jangan lupakan juga rumit dan panasnya proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa atau yang dikenal dengan istilah Brexit (British Exit).
Beberapa hari yang lalu, parlemen Inggris gagal menentukan opsi yang akan diambil terkait dengan Brexit. Total, ada 8 alternatif yang diajukan kepada anggota parlemen, namun tak ada satu pun yang berhasil meraup suara mayoritas.
Kini, nasib Inggris menjadi luar biasa tidak jelas. Pada hari ini waktu setempat, Perdana Menteri Inggris Theresa May akan mengajukan kembali proposal Brexit kepada parlemen. Sebelumnya, proposal Brexit yang diajukan oleh May sudah ditolak sebanyak 2 kali.
Jika sampai ditolak lagi pada hari ini, Uni Eropa sudah menegaskan bahwa Inggris hanya memiliki 2 opsi: meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit) pada 12 April mendatang atau membatalkan Brexit.
Kalau sampai opsi No-Deal Brexit yang diambil, dampaknya dipastikan parah. Inggris dan Uni Eropa tak bisa lagi leluasa berdagang dengan tarif yang rendah atau tanpa tarif sama sekali seperti yang selama ini terjadi. Tarif dalam perdagangan Inggris-Uni Eropa akan mengacu kepada standar dari WTO yang pastinya lebih tinggi.
Jika dihitung, pada tahun 2018 ekspor Inggris ke 5 negara terbesar anggota Uni Eropa lainnya yakni Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan Belanda mencapai 17,1% dari total ekspor mereka. Dari sisi impor, kontribusi 5 negara tersebut dari total impor Inggris adalah sebesar 26,2%. Ingat, itu baru kontribusi dari 5 negara terbesar anggota Uni Eropa lainnya dan bukan dari seluruh anggota Uni Eropa.
Parahnya dampak dari No-Deal Brexit sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Bank of England (BoE) selaku bank sentral Inggris. BoE telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mengakibatkan resesi.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Di pasar saham dunia, No-Deal Brexit berpotensi direspons dengan aksi jual secara besar-besaran.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Dari dalam negeri, ada dua rilis data ekonomi yang berpotensi membuat IHSG kembali membukukan kinerja negatif pada bulan April, yakni inflasi dan ekspor-impor.
Data inflasi periode Maret 2019 akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 1 April. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi berada di level 0,12% secara bulanan. Secara tahunan, laju inflasi adalah sebesar 2,5%.
Jika sampai angka inflasi berada di bawah ekspektasi, maka konsumsi masyarakat Indonesia bisa dianggap sedang loyo sehingga saham-saham konsumer berpotensi dilego investor. Pada akhirnya, laju IHSG akan terbebani.
Untuk ekspor-impor, data periode Maret akan dirilis oleh BPS pada tanggal 15 April. Pada Februari 2019, neraca dagang Indonesia membukukan surplus senilai US$ 330 juta, dari yang sebelumnya defisit US$ 1,06 miliar pada bulan Januari.
Namun, surplus neraca dagang tersebut merupakan hasil dari impor yang anjlok lebih dalam dibandingkan ekspor. Sepanjang Februari, ekspor terkontraksi 11,33% secara tahunan, sementara impor anjlok hingga 13,98% YoY.
Jika pelemahan ekspor dan impor berlanjut ke bulan Maret, hal tersebut akan dipandang sebagai sinyal pelemahan ekonomi tanah air. Pada akhirnya, instrumen berisiko seperti saham berpotensi dilego.
Pada intinya, ada begitu banyak risiko yang akan menghantui jalannya perdagangan di bursa saham dalam negeri pada bulan depan. Sejarah juga sudah menunjukkan bahwa April bukan merupakan bulan yang ramah bagi pelaku pasar saham. Mungkin, akan lebih bijak jika pelaku pasar menghindari dulu aksi beli di pasar saham pada bulan depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Apalagi, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa dibilang mengecewakan sepanjang bulan Maret. Sepanjang bulan ini, IHSG hanya membukukan penguatan sebesar 0,39%, jauh di bawah rata-rata imbal hasil bulan Maret dalam 5 tahun terakhir (2014-2018) yang sebesar 0,64%.
Namun, pelaku pasar sudah selayaknya berhati-hati. Pasalnya, sejarah menunjukkan bahwa April bukan merupakan bulan yang tepat untuk masuk ke pasar saham Indonesia.
Perang Dagang Jadi Risiko Utama
Perang dagang AS-China menjadi risiko utama bagi pasar saham tanah air di bulan April. Memang, sejauh ini damai dagang antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut terasa kian dekat.
Hari ini merupakan hari terakhir dari negosiasi dagang AS-China yang digelar di Beijing setelah dimulai kemarin. Negosiasi kali ini merupakan negosiasi tingkat tinggi lantaran melibatkan tokok-tokoh penting dari kedua negara.
Pihak AS mengirim kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara pihak China mengutus Wakil Perdana Menteri Liu He untuk menjamu perwakilan AS. Pada pekan depan, negosiasi akan dilanjutkan di Washington.
Dalam negosiasi dagang teranyar dengan AS tersebut, pejabat pemerintahan AS mengatakan bahwa China menawarkan proposal yang lebih berani dibandingkan yang mereka tawarkan sebelumnya, termasuk proposal guna mengatasi masalah pemaksaan transfer teknologi, seperti dikutip dari Reuters.
"Mereka (China) berbicara mengenai pemaksaan transfer teknologi dalam koridor yang sebelumnya tak pernah ingin mereka bicarakan - baik dalam cakupan maupun detilnya," papar pejabat tersebut kepada Reuters.
Pejabat tersebut juga mengungkapkan bahwa para negosiator telah membuat kemajuan terkait dengan penulisan kesepakatan dagang kedua negara.
"Jika Anda melihat (draf) kesepakatan tertulis sebulan yang lalu dibandingkan dengan saat ini, kami telah menciptakan kemajuan di semua bidang."
Namun, bukan berarti kesepakatan dagang benar-benar akan segera diteken. Bisa jadi, kesepakatan dagang kedua negara baru disegel pada pertengahan tahun.
"Bisa Mei, Juni, tidak ada yang tahu. Bisa juga April, kami tidak tahu," ujar pejabat pemerintahan AS yang lain, mengutip Reuters.
Jika negosiasi kelewat berlarut-larut, maka ketidakpastian yang mewarnai proses penyusunan kesepakatan dagang sangat berpotensi menekan kinerja bursa saham dunia, termasuk Indonesia.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Jangan lupakan juga rumit dan panasnya proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa atau yang dikenal dengan istilah Brexit (British Exit).
Beberapa hari yang lalu, parlemen Inggris gagal menentukan opsi yang akan diambil terkait dengan Brexit. Total, ada 8 alternatif yang diajukan kepada anggota parlemen, namun tak ada satu pun yang berhasil meraup suara mayoritas.
Kini, nasib Inggris menjadi luar biasa tidak jelas. Pada hari ini waktu setempat, Perdana Menteri Inggris Theresa May akan mengajukan kembali proposal Brexit kepada parlemen. Sebelumnya, proposal Brexit yang diajukan oleh May sudah ditolak sebanyak 2 kali.
Jika sampai ditolak lagi pada hari ini, Uni Eropa sudah menegaskan bahwa Inggris hanya memiliki 2 opsi: meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit) pada 12 April mendatang atau membatalkan Brexit.
Kalau sampai opsi No-Deal Brexit yang diambil, dampaknya dipastikan parah. Inggris dan Uni Eropa tak bisa lagi leluasa berdagang dengan tarif yang rendah atau tanpa tarif sama sekali seperti yang selama ini terjadi. Tarif dalam perdagangan Inggris-Uni Eropa akan mengacu kepada standar dari WTO yang pastinya lebih tinggi.
Jika dihitung, pada tahun 2018 ekspor Inggris ke 5 negara terbesar anggota Uni Eropa lainnya yakni Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan Belanda mencapai 17,1% dari total ekspor mereka. Dari sisi impor, kontribusi 5 negara tersebut dari total impor Inggris adalah sebesar 26,2%. Ingat, itu baru kontribusi dari 5 negara terbesar anggota Uni Eropa lainnya dan bukan dari seluruh anggota Uni Eropa.
Parahnya dampak dari No-Deal Brexit sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Bank of England (BoE) selaku bank sentral Inggris. BoE telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mengakibatkan resesi.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Di pasar saham dunia, No-Deal Brexit berpotensi direspons dengan aksi jual secara besar-besaran.
BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA
Dari dalam negeri, ada dua rilis data ekonomi yang berpotensi membuat IHSG kembali membukukan kinerja negatif pada bulan April, yakni inflasi dan ekspor-impor.
Data inflasi periode Maret 2019 akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 1 April. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi berada di level 0,12% secara bulanan. Secara tahunan, laju inflasi adalah sebesar 2,5%.
Jika sampai angka inflasi berada di bawah ekspektasi, maka konsumsi masyarakat Indonesia bisa dianggap sedang loyo sehingga saham-saham konsumer berpotensi dilego investor. Pada akhirnya, laju IHSG akan terbebani.
Untuk ekspor-impor, data periode Maret akan dirilis oleh BPS pada tanggal 15 April. Pada Februari 2019, neraca dagang Indonesia membukukan surplus senilai US$ 330 juta, dari yang sebelumnya defisit US$ 1,06 miliar pada bulan Januari.
Namun, surplus neraca dagang tersebut merupakan hasil dari impor yang anjlok lebih dalam dibandingkan ekspor. Sepanjang Februari, ekspor terkontraksi 11,33% secara tahunan, sementara impor anjlok hingga 13,98% YoY.
Jika pelemahan ekspor dan impor berlanjut ke bulan Maret, hal tersebut akan dipandang sebagai sinyal pelemahan ekonomi tanah air. Pada akhirnya, instrumen berisiko seperti saham berpotensi dilego.
Pada intinya, ada begitu banyak risiko yang akan menghantui jalannya perdagangan di bursa saham dalam negeri pada bulan depan. Sejarah juga sudah menunjukkan bahwa April bukan merupakan bulan yang ramah bagi pelaku pasar saham. Mungkin, akan lebih bijak jika pelaku pasar menghindari dulu aksi beli di pasar saham pada bulan depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Most Popular