Please Rupiah! Jangan Lagi di Zona Degradasi

Iswari Anggit, CNBC Indonesia
29 March 2019 09:05
Sayang, konsistensi rupiah dalam artian negatif.
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tak lebih baik dari hari sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) lagi-lagi melemah di penutupan pasar spot, Kamis (28/3/2019). Depresiasi rupiah mencapai 0,33% atau Rp 14.237/US$.

Jika mengikuti pergerakan rupiah di pasar spot, tampak ada konsistensi. Sayang, konsistensi dalam artian negatif. Saat pembukaan pagi di pasar spot, hingga penutupan di sore hari, rupiah tak beranjak dari posisinya sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan regional.

Pada pembukaan pasar spot kemarin, nilai tukar rupiah melemah 0,18% dan menjadikan US$ 1 dibanderol Rp 14.215. Bahkan, rupiah sempat melemah hingga 0,46% menjadi Rp 14.255.



Akan tetapi, pergerakan mata uang negara-negara di kawasan Asia memang terlihat kurang greget. Banyak mata uang negara kawasan Asia "jatuh-bangun" berusaha melawan tekanan dolar AS. Dan akhirnya, tanpa memasukkan rupiah, lima mata uang di kawasan Asia menyerah melawan dolar AS, sementara lima lain berhasil terapresiasi.

Menurut Tim Riset CNBC Indonesia, setidaknya terdapat dua hal yang membuat nilai tukar rupiah dan lima mata uang negara kawasan Asia lainnya kian melemah.
 

Pertama, perang dagang antara dua negara terbesar di dunia, yakni AS dan China.


Perang dagang membuat perekonomian China tersakiti, lantaran produk ekspornya senilai US$ 250 miliar dikenakan bea masuk yang begitu tinggi oleh AS.

Bahkan, perang dagang telah memaksa pemerintah China memangkas target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 ini menjadi ke kisaran 6%-6,5%. Padahal sebelumnya, target pertumbuhan ekonomi China dipatok di kisaran 6,5%. 
Oleh karena itu, wajar jika saat ini China terlihat begitu bersemangat untuk mencapai kesepakatan dagang dengan AS.

Sejak kemarin hingga hari ini (Kamis, 28 - Jumat, 29 Maret 2019), China dan AS menggelar negosiasi dagang di Beijing, mempertemukan Wakil Perdana Menteri China Liu He dengan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. Negosiasi dagang kedua negara bahkan akan berlanjut pada awal April di Washington.

Kedua, potensi resesi ekonomi AS.

Para pelaku pasar kian yakin bahwa AS akan masuk ke dalam jurang resesi. Hal tersebut dapat dilihat dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor tiga bulan yang semakin meninggalkan tenor 10 tahun.


Pada perdagangan kemarin, yield tenor tiga bulan berada di level 2,4403%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,3805%; ada selisih sebesar 5,98 basis poin (bps). Fenomena yang disebut sebagai inversi ini merupakan konfirmasi dari potensi datangnya resesi di AS.


Resesi di AS memang tak bisa disepelekan. Pasalnya, ekonomi Indonesia akan mengalami perlambatan yang signifikan jika AS benar-benar jatuh ke jurang resesi. Bagaimana tidak, Indonesia banyak bergantung kepada AS sebagai pangsa pasar tujuan ekspor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang tahun 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. Hal ini membuktikan negara Paman Sam tersebut menduduki peringkat kedua sebagai pangsa pasar ekspor non-migas terbesar, setelah China.

Pada pembukaan hari ini, Jumat (29/3/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.240. Rupiah melemah tipis 0,02% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya

Lantas bagaimana ya dengan kinerja rupiah sepanjang perdagangan hingga sore nanti? Semoga rupiah mampu membukukan apresiasi kali ini.



(tas) Next Article Tenang! BI Siapkan Strategi Ini Demi Tenangkan Rupiah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular