
Stok AS Membubung, Harga Minyak Harus Rela Terkoreksi
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 March 2019 09:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah pada perdagangan Kamis pagi ini (28/3/2019) melanjutkan pelemahan yang terjadi pada perdagangan Rabu kemarin seiring dengan bertambahnya stok minyak di Amerika Serikat (AS).
Hingga pukul 09:15 WIB, harga minyak Brent (patokan pasar Asia dan Eropa) kontrak Mei amblas 0,4% ke posisi US$ 67,56/barel, setelah ditutup melemah 0,21% kemarin.
Adapun jenis light sweet (West Texas Intermediate/WTI, patokan pasar Amerika) kontrak Mei turun 0,52%% ke level US$ 59,1/barel, setelah anjlok 0,88% pada perdagangan kemarin.
Selama sepekan, harga Brent dan WTI tercatat amblas masing-masing sebesar 0,44% dan 1,47% secara point-to-point. Akan tetapi sejak awal tahun, keduanya melesat dengan nilai rata-rata sebesar 27,86%.
Meningkatnya inventori minyak mentah di AS menjadi dalang yang menarik harga minyak semakin ke bawah.
Dini hari tadi, lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA) mengatakan bahwa stok minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 22 Maret meningkat 2,8 juta barel.
Padahal konsensus analis yang dihimpun oleh Reuters memprediksi adanya penurunan stok sebanyak 1,2 juta barel.
Dengan begitu, pelaku pasar kembali mengkhawatirkan banjir pasokan yang berpotensi terjadi di tahun ini akibat produksi minyak Negeri Paman Sam yang terus meningkat.
Laporan terakhir EIA mencatat, produksi minyak AS berada di level 12,1 juta barel/hari yang merupakan rekor tertinggi. Bila dihitung sejak awl tahun 2018, produksi minyak AS telah bertambah lebih dari 2 juta barel/hari.
Namun demikian, gerakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk mengurangi pasokan minyak dunia masih memberikan fondasi kuat bagi pergerakan harga.
Pada awal Desember 2018, OPEC+ (OPEC dan sekutunya) sepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari yang dimulai pada awal Januari 2019.
Sejauh ini, OPEC terlihat patuh terhadap kesepakatan tersebut. Pada Januari, produksi minyak OPEC dilaporkan berkurang hingga hampir 800.000 barel/hari.
Sanksi AS atas Iran juga membuat ekspor minyak Negeri Persia terhambat. Sebab, negara-negara yang bermitra dengan AS dilarang untuk membeli minyak Iran karena program nuklir yang masih terus berjalan.
Teranyar, ekspor minyak Iran hanya kurang sedikit dari 1 juta barel/hari. Padahal pada kondisi normal (sebelum ada sanksi AS) volume ekspornya bisa mencapai 2,5 juta barel/hari.
Padamnya listrik yang terjadi di Venezuela juga turut membuat pasokan di pasar global berpotensi semakin ketat. Sejak hari Senin (25/3/2019), pelabuhan Jose yang merupakan gerbang ekspor utama Venezuela tidak dapat beroperasi akibat tak ada listrik.
Artinya pasokan minyak di pasar global akan kembali berkurang hingga lebih dari 500.000 barel/hari.
Dengan begitu, setidaknya garis pelemahan harga minyak dapat ditahan dan tak tenggelam lebih dalam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 09:15 WIB, harga minyak Brent (patokan pasar Asia dan Eropa) kontrak Mei amblas 0,4% ke posisi US$ 67,56/barel, setelah ditutup melemah 0,21% kemarin.
Adapun jenis light sweet (West Texas Intermediate/WTI, patokan pasar Amerika) kontrak Mei turun 0,52%% ke level US$ 59,1/barel, setelah anjlok 0,88% pada perdagangan kemarin.
Meningkatnya inventori minyak mentah di AS menjadi dalang yang menarik harga minyak semakin ke bawah.
Dini hari tadi, lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA) mengatakan bahwa stok minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 22 Maret meningkat 2,8 juta barel.
Padahal konsensus analis yang dihimpun oleh Reuters memprediksi adanya penurunan stok sebanyak 1,2 juta barel.
Dengan begitu, pelaku pasar kembali mengkhawatirkan banjir pasokan yang berpotensi terjadi di tahun ini akibat produksi minyak Negeri Paman Sam yang terus meningkat.
Laporan terakhir EIA mencatat, produksi minyak AS berada di level 12,1 juta barel/hari yang merupakan rekor tertinggi. Bila dihitung sejak awl tahun 2018, produksi minyak AS telah bertambah lebih dari 2 juta barel/hari.
Namun demikian, gerakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk mengurangi pasokan minyak dunia masih memberikan fondasi kuat bagi pergerakan harga.
Pada awal Desember 2018, OPEC+ (OPEC dan sekutunya) sepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari yang dimulai pada awal Januari 2019.
Sejauh ini, OPEC terlihat patuh terhadap kesepakatan tersebut. Pada Januari, produksi minyak OPEC dilaporkan berkurang hingga hampir 800.000 barel/hari.
Sanksi AS atas Iran juga membuat ekspor minyak Negeri Persia terhambat. Sebab, negara-negara yang bermitra dengan AS dilarang untuk membeli minyak Iran karena program nuklir yang masih terus berjalan.
Teranyar, ekspor minyak Iran hanya kurang sedikit dari 1 juta barel/hari. Padahal pada kondisi normal (sebelum ada sanksi AS) volume ekspornya bisa mencapai 2,5 juta barel/hari.
Padamnya listrik yang terjadi di Venezuela juga turut membuat pasokan di pasar global berpotensi semakin ketat. Sejak hari Senin (25/3/2019), pelabuhan Jose yang merupakan gerbang ekspor utama Venezuela tidak dapat beroperasi akibat tak ada listrik.
Artinya pasokan minyak di pasar global akan kembali berkurang hingga lebih dari 500.000 barel/hari.
Dengan begitu, setidaknya garis pelemahan harga minyak dapat ditahan dan tak tenggelam lebih dalam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular