
Bergerak 2 Arah, Harga Minyak Sudah Capai Kesetimbangan?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
27 March 2019 16:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah pada perdagangan Rabu sore ini (27/3/2019) cenderung bervariasi.
Hingga pukul 16:15 WIB, harga minyak Brent kontrak Mei naik 0,32% ke posisi US$ 68,19/barel, setelah ditutup naik 1,13% kemarin.
Adapun jenis light sweet (WTI) kontrak Mei melemah 0,18%% ke level US$ 59,83/barel, setelah melesat 1,9% pada perdagangan kemarin.
Selama sepekan, harga Brent tercatat amblas 0,8%, sedangkan WTI naik 0,15% secara point-to-point. Akan tetapi sejak awal tahun, keduanya telah terdongkrak dengan nilai rata-rata sebesar 29,13%.
Pengurangan produksi minyak yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) terbukti mampu mengangkat harga minyak sejak awal tahun 2019.
Seperti yang telah diketahui, OPEC bersama sekutunya telah sepakat untuk memangkas produksi minyak hingga 1,2 juta barel mulai Januari 2019.
Sejauh ini, OPEC memang sudah terlihat patuh terhadap kesepakatan tersebut. Berdasarkan catatan OPEC, produksi minyak dari negara-negara organisasi tersbut telah berkurang hingga hampir 800.000 barel/hari.
Padamnya listrik yang terjadi di Venezuela juga turut membuat pasokan di pasar global berpotensi semakin ketat. Sebab sejak hari Senin (25/3/2019), pelabuhan Jose yang merupakan gerbang ekspor utama Venezuela tidak dapat beroperasi akibat tak ada listrik.
Artinya pasokan minyak di pasar global akan kembali berkurang hingga lebih dari 500.000 barel/hari.
Adanya sanksi Amerika Serikat atas Iran juga membuat pasokan minyak dari Negeri Persia sulit untuk menemukan pasar. Pasalnya, akibat program nuklir Iran, negara-negara sekutu AS dilarang untuk membeli minyak asal Iran.
Pada kondisi normal (sebelum adanya sanksi AS), ekspor minyak Iran mencapai 2,5 juta barel/hari.
Dengan begitu ketakutan pelaku pasar akan banjir pasokan minyak tahun ini dapat diredam.
Namun terus meningkatnya produksi minyak di AS juga masih memberikan sentimen negatif pada pergerakan harga.
Data terakhir yang dirilis oleh lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA), mencatat produksi minyak Negeri Paman Sam berada di level 12,1 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi.
Terhitung sejak awal tahun 2018, produksi minyak AS telah meningkat lebih dari 2 juta barel/hari.
Beberapa analis memperkirakan AS akan menjadi net eksportir minyak pada tahun 2020. Artinya pada saat itu ekspor minyak AS akan lebih besar ketimbang impornya.
Bila AS terus memompa minyak lebih banyak, maka usaha yang akan dilakukan oleh OPEC bisa jadi sia-sia.
Ditambah lagi adanya perlambatan ekonomi global juga menimbulkan prediksi pertumbuhan permintaan minyak yang melambat.
Purcahasing Manager's Index (PMI) manufaktur Jerman periode Maret juga dibacakan pada posisi yang lebih rendah dibanding bulan sebelumnya, yaitu hanya 44,7. Parahnya, nilai tersebut merupakan yang paling rendah sejak Agustus 2012.
Sebagai informasi, nilai dibawah 50 berarti terjadi kontraksi pada aktivitas industri manufaktur, dan berlaku pula sebaliknya.
Artinya, industri manufaktur di negara nomor 1 di Eropa tersebut sedang lesu. Bahkan yang paling lesu sejak 7 tahun lalu. Sudah tentu hal ini membuat pelaku pasar khawatir akan penyerapan pasokan minyak.
Kala industri tak bergairah, pertumbuhan permintaan minyak dapat terganggu. Ujung-ujungnya keseimbangan fundamental di pasar minyak dunia menjadi timpang dan membebani harga.
Pada kondisi yang sekarang, analis memperkirakan harga minyak sudah dalam kondisi yang setimbang.
"Kami melihat harga minyak telah mencapai keseimbangan setelah melalui perdagangan yang fluktuatif belakangan ini. Kami perlu melihat beberapa dorongan baru untuk memprediksi arah pergerkan harga [minyak]," kata Jeff Halley, analis pasar senior OANDA, Singapura, mengutip Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 16:15 WIB, harga minyak Brent kontrak Mei naik 0,32% ke posisi US$ 68,19/barel, setelah ditutup naik 1,13% kemarin.
Adapun jenis light sweet (WTI) kontrak Mei melemah 0,18%% ke level US$ 59,83/barel, setelah melesat 1,9% pada perdagangan kemarin.
Pengurangan produksi minyak yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) terbukti mampu mengangkat harga minyak sejak awal tahun 2019.
Seperti yang telah diketahui, OPEC bersama sekutunya telah sepakat untuk memangkas produksi minyak hingga 1,2 juta barel mulai Januari 2019.
Sejauh ini, OPEC memang sudah terlihat patuh terhadap kesepakatan tersebut. Berdasarkan catatan OPEC, produksi minyak dari negara-negara organisasi tersbut telah berkurang hingga hampir 800.000 barel/hari.
Padamnya listrik yang terjadi di Venezuela juga turut membuat pasokan di pasar global berpotensi semakin ketat. Sebab sejak hari Senin (25/3/2019), pelabuhan Jose yang merupakan gerbang ekspor utama Venezuela tidak dapat beroperasi akibat tak ada listrik.
Artinya pasokan minyak di pasar global akan kembali berkurang hingga lebih dari 500.000 barel/hari.
Adanya sanksi Amerika Serikat atas Iran juga membuat pasokan minyak dari Negeri Persia sulit untuk menemukan pasar. Pasalnya, akibat program nuklir Iran, negara-negara sekutu AS dilarang untuk membeli minyak asal Iran.
Pada kondisi normal (sebelum adanya sanksi AS), ekspor minyak Iran mencapai 2,5 juta barel/hari.
Dengan begitu ketakutan pelaku pasar akan banjir pasokan minyak tahun ini dapat diredam.
Namun terus meningkatnya produksi minyak di AS juga masih memberikan sentimen negatif pada pergerakan harga.
Data terakhir yang dirilis oleh lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA), mencatat produksi minyak Negeri Paman Sam berada di level 12,1 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi.
Terhitung sejak awal tahun 2018, produksi minyak AS telah meningkat lebih dari 2 juta barel/hari.
Beberapa analis memperkirakan AS akan menjadi net eksportir minyak pada tahun 2020. Artinya pada saat itu ekspor minyak AS akan lebih besar ketimbang impornya.
Bila AS terus memompa minyak lebih banyak, maka usaha yang akan dilakukan oleh OPEC bisa jadi sia-sia.
Ditambah lagi adanya perlambatan ekonomi global juga menimbulkan prediksi pertumbuhan permintaan minyak yang melambat.
Purcahasing Manager's Index (PMI) manufaktur Jerman periode Maret juga dibacakan pada posisi yang lebih rendah dibanding bulan sebelumnya, yaitu hanya 44,7. Parahnya, nilai tersebut merupakan yang paling rendah sejak Agustus 2012.
Sebagai informasi, nilai dibawah 50 berarti terjadi kontraksi pada aktivitas industri manufaktur, dan berlaku pula sebaliknya.
Artinya, industri manufaktur di negara nomor 1 di Eropa tersebut sedang lesu. Bahkan yang paling lesu sejak 7 tahun lalu. Sudah tentu hal ini membuat pelaku pasar khawatir akan penyerapan pasokan minyak.
Kala industri tak bergairah, pertumbuhan permintaan minyak dapat terganggu. Ujung-ujungnya keseimbangan fundamental di pasar minyak dunia menjadi timpang dan membebani harga.
Pada kondisi yang sekarang, analis memperkirakan harga minyak sudah dalam kondisi yang setimbang.
"Kami melihat harga minyak telah mencapai keseimbangan setelah melalui perdagangan yang fluktuatif belakangan ini. Kami perlu melihat beberapa dorongan baru untuk memprediksi arah pergerkan harga [minyak]," kata Jeff Halley, analis pasar senior OANDA, Singapura, mengutip Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular