
Batalnya Pertemuan OPEC+ Bikin Harga Minyak Naik, Kok Bisa?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
18 March 2019 19:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah pada perdagangan Senin malam ini (18/3/2019) berbalik arah menembus zona hijau.
Hingga pukul 19:00 WIB, harga minyak Brent kontrak Mei naik 0,22% ke posisi US$ 67,31/barel, setelah juga amblas 0,1% pada perdagangan akhir pekan lalu (15/3/2019).
Adapun jenis lightsweet (WTI) kontrak April juga menguat 0,15% ke level US$ 58,61/barel, setelah turun 0,15% pada perdagangan akhir pekan lalu.
Secara mingguan, harga Brent dan WTI masing-masing sudah naik 1,1% dan 3,2% secara point-to-point. Sedangkan sejak awal tahun, keduanya telah terdongkrak sekitar 27%.
Pelaku pasar tampaknya masih tetap optimis pasokan akan semakin ketat pada tahun ini.
Perusahaan minyak Baker Huges mengatakan, untuk minggu yang berakhir pada 15 Maret, jumlah rig minyak yang aktif di Amerika Serikat (AS) kembali berkurang satu unit. Ini merupakan penurunan jumlah rig mingguan yang ke-4 secara beruntun, sekaligus membuat jumlahnya menjadi paling sedikit sejak April 2018.
Jumlah rig merupakan suatu indikator penting untuk mengukur kapasitas produksi minyak di AS. Setidaknya jika jumlahnya terus berkurang, tidak akan terjadi lonjakan produksi dalam waktu dekat, seperti yang telah ditakutkan.
Beralih ke timur tengah, pada hari ini telah berlangsung sebuah pertemuan panelis Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya di tingkat wakil menteri.
Panelis tersebut merekomendasikan pembatalan pertemuan luar biasa OPEC dan aliansinya yang sebelumnya dijadwalkan pada 17-18 April mendatang.
Seiring dengan dibatalkannya pertemuan tersebut, artinya OPEC+ (OPEC dan aliansinya) masih akan melanjutkan aksi pengurangan produksi hingga pasca tengah tahun.
"Konsensus yang kami dengar...April terlalu dini untuk membuat keputusan produksi untuk semester dua [2019]," ujar Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih hari ini, seperti yang dilansir dari Reuters. "Hingga kami melihat [harga minyak] menyakiti pelanggan, hingga kami melihat dampaknya pada inventori [minyak], kami tidak akan mengubah arah [kebijakan produksi]."
Seperti yang telah diketahui, OPEC+ pada awal Desember 2018 silam telah sepakat untuk memangkas pasokan minyak sebesar 1,2 juta barel/hari mulai Januari 2019.
Keputusan yang tiba-tiba seperti ini memang sempat membuat pasar agak terkejut. Namun tidak lama, karena menyadari bahwa kebijakan OPEC+ tetap sama.
Pertemuan reguler OPEC+ terdekat dijadwalkan pada 25-26 Juni 2019.
Namun demikian, hingga saat ini perlambatan ekonomi global masih memimpin sentimen yang terus menekan harga minyak. Alhasil harga minyak sulit untuk naik lebih tinggi.
Teranyar, nilai ekspor Jepang pada periode Februari dibacakan turun 1,2% dibanding tahun sebelumnya (YoY). Bahkan, nilai kontraksinya lebih dalam ketimbang konsensus pasar yang memprediksi hanya sebesar 0,9%. Selain itu impor minyak mentah Jepang bulan Februari juga tercatat turun 2,8% YoY.
Data tersebut seakan makin mengonfirmasi aktivitas ekonomi global yang masih terus melambat. Akibatnya, permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak juga akan ikut terpangkas.
Analis Bernstein Energy pada hari ini mengatakan bahwa pertumbuhan permintaan minyak tahun ini bisa terbatas di bawah level 1 juta barel/hari. Padahal sebelumnya angka pertumbuhan permintaan minyak tahun ini diprediksi sebesar 1,3 juta barel/hari.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 19:00 WIB, harga minyak Brent kontrak Mei naik 0,22% ke posisi US$ 67,31/barel, setelah juga amblas 0,1% pada perdagangan akhir pekan lalu (15/3/2019).
Adapun jenis lightsweet (WTI) kontrak April juga menguat 0,15% ke level US$ 58,61/barel, setelah turun 0,15% pada perdagangan akhir pekan lalu.
Pelaku pasar tampaknya masih tetap optimis pasokan akan semakin ketat pada tahun ini.
Perusahaan minyak Baker Huges mengatakan, untuk minggu yang berakhir pada 15 Maret, jumlah rig minyak yang aktif di Amerika Serikat (AS) kembali berkurang satu unit. Ini merupakan penurunan jumlah rig mingguan yang ke-4 secara beruntun, sekaligus membuat jumlahnya menjadi paling sedikit sejak April 2018.
Jumlah rig merupakan suatu indikator penting untuk mengukur kapasitas produksi minyak di AS. Setidaknya jika jumlahnya terus berkurang, tidak akan terjadi lonjakan produksi dalam waktu dekat, seperti yang telah ditakutkan.
Beralih ke timur tengah, pada hari ini telah berlangsung sebuah pertemuan panelis Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya di tingkat wakil menteri.
Panelis tersebut merekomendasikan pembatalan pertemuan luar biasa OPEC dan aliansinya yang sebelumnya dijadwalkan pada 17-18 April mendatang.
Seiring dengan dibatalkannya pertemuan tersebut, artinya OPEC+ (OPEC dan aliansinya) masih akan melanjutkan aksi pengurangan produksi hingga pasca tengah tahun.
"Konsensus yang kami dengar...April terlalu dini untuk membuat keputusan produksi untuk semester dua [2019]," ujar Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih hari ini, seperti yang dilansir dari Reuters. "Hingga kami melihat [harga minyak] menyakiti pelanggan, hingga kami melihat dampaknya pada inventori [minyak], kami tidak akan mengubah arah [kebijakan produksi]."
Seperti yang telah diketahui, OPEC+ pada awal Desember 2018 silam telah sepakat untuk memangkas pasokan minyak sebesar 1,2 juta barel/hari mulai Januari 2019.
Keputusan yang tiba-tiba seperti ini memang sempat membuat pasar agak terkejut. Namun tidak lama, karena menyadari bahwa kebijakan OPEC+ tetap sama.
Pertemuan reguler OPEC+ terdekat dijadwalkan pada 25-26 Juni 2019.
Namun demikian, hingga saat ini perlambatan ekonomi global masih memimpin sentimen yang terus menekan harga minyak. Alhasil harga minyak sulit untuk naik lebih tinggi.
Teranyar, nilai ekspor Jepang pada periode Februari dibacakan turun 1,2% dibanding tahun sebelumnya (YoY). Bahkan, nilai kontraksinya lebih dalam ketimbang konsensus pasar yang memprediksi hanya sebesar 0,9%. Selain itu impor minyak mentah Jepang bulan Februari juga tercatat turun 2,8% YoY.
Data tersebut seakan makin mengonfirmasi aktivitas ekonomi global yang masih terus melambat. Akibatnya, permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak juga akan ikut terpangkas.
Analis Bernstein Energy pada hari ini mengatakan bahwa pertumbuhan permintaan minyak tahun ini bisa terbatas di bawah level 1 juta barel/hari. Padahal sebelumnya angka pertumbuhan permintaan minyak tahun ini diprediksi sebesar 1,3 juta barel/hari.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular