
Diskriminasi Sawit UE untuk Kurangi Defisit Dagang dengan RI?
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
25 March 2019 14:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi Eropa pada 13 Maret lalu meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dalam dokumen tersebut, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global.
Oleh karena itu, pemerintah Uni Eropa berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.
Pemerintah RI mengecam keras RED II dan aturan turunannya yang dianggap mendiskriminasi kelapa sawit dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, rape seed, bunga matahari) dalam memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati (biofuel) yang berkelanjutan di pasar Eropa.
Staf Khusus Menteri Luar Negeri, Peter Gontha menduga, diskriminasi terhadap salah satu komoditas ekspor utama RI ke Benua Biru tersebut dilakukan Uni Eropa untuk memperkecil defisit neraca perdagangannya dengan RI.
"Ekspor kita ke UE sekarang kira-kira nilainya US$ 17,1 miliar dengan impor kita dari sana US$ 14,1 miliar. Pertanyaannya sekarang, apakah upaya mereka menghambat sawit kita ini sebenarnya untuk menurunkan defisit neraca dagang mereka?," ujar Peter di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (25/3/2019).
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor Indonesia ke Uni Eropa di tahun 2018 senilai US$ 17,1 miliar dengan nilai impor sebesar US$ 14,1 miliar. Dengan demikian, Indonesia mencatat surplus perdagangan sekitar US$ 3 miliar sepanjang tahuh lalu.
Adapun total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa tahun lalu mencapai US$ 31,2 miliar atau meningkat 8,29% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Uni Eropa adalah tujuan ekspor dan asal impor nonmigas terbesar ke-3 bagi Indonesia. Selain itu, ekspor Indonesia ke Uni Eropa juga meningkat 4,59% dengan neraca perdagangan surplus bagi Indonesia selama kurun waktu lima tahun terakhir.
Lebih lanjut, Peter mempertanyakan keputusan pemerintah Uni Eropa yang sangat concern dengan deforestasi di Tanah Air tanpa merefleksikan deforestasi yang terjadi di wilayah mereka ratusan tahun yang lalu.
"Eropa itu selama ratusan tahun, terutama periode 1785-1885 telah melakukan total deforestation, sehingga di sana tidak ada lagi biodiversity [keanekaragaman hayati]. Kalau kita lihat, hutan di sana itu sudah tidak ada kehidupan lagi," tutur mantan Duta Besar RI untuk Polandia tersebut.
Peter mengakui, banyak kerusakan hutan yng terjadi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Namun demikian, pemerintah sudah banyak melakukan perbaikan dengan berbagai kebijakan seperti moratorium sawit dan sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil).
"Dari tadinya deforestasi kita mencapai 2 juta hektare (per tahun), tahun lalu angkanya sudah menurun hingga tinggal 400 ribu hektare. Jadi kita sudah menurunkan. Memang masih ada izin-izin [perkebunan sawit] yang sedang dikaji, dan akan coba diberhentikan," jelasnya.
Simak video penjelasan RI terkait deforestasi di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Sambut New Normal, Harga CPO Naik Hampir 10% dalam Sebulan
Oleh karena itu, pemerintah Uni Eropa berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.
Pemerintah RI mengecam keras RED II dan aturan turunannya yang dianggap mendiskriminasi kelapa sawit dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, rape seed, bunga matahari) dalam memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati (biofuel) yang berkelanjutan di pasar Eropa.
Staf Khusus Menteri Luar Negeri, Peter Gontha menduga, diskriminasi terhadap salah satu komoditas ekspor utama RI ke Benua Biru tersebut dilakukan Uni Eropa untuk memperkecil defisit neraca perdagangannya dengan RI.
"Ekspor kita ke UE sekarang kira-kira nilainya US$ 17,1 miliar dengan impor kita dari sana US$ 14,1 miliar. Pertanyaannya sekarang, apakah upaya mereka menghambat sawit kita ini sebenarnya untuk menurunkan defisit neraca dagang mereka?," ujar Peter di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (25/3/2019).
![]() |
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor Indonesia ke Uni Eropa di tahun 2018 senilai US$ 17,1 miliar dengan nilai impor sebesar US$ 14,1 miliar. Dengan demikian, Indonesia mencatat surplus perdagangan sekitar US$ 3 miliar sepanjang tahuh lalu.
Adapun total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa tahun lalu mencapai US$ 31,2 miliar atau meningkat 8,29% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Uni Eropa adalah tujuan ekspor dan asal impor nonmigas terbesar ke-3 bagi Indonesia. Selain itu, ekspor Indonesia ke Uni Eropa juga meningkat 4,59% dengan neraca perdagangan surplus bagi Indonesia selama kurun waktu lima tahun terakhir.
Lebih lanjut, Peter mempertanyakan keputusan pemerintah Uni Eropa yang sangat concern dengan deforestasi di Tanah Air tanpa merefleksikan deforestasi yang terjadi di wilayah mereka ratusan tahun yang lalu.
"Eropa itu selama ratusan tahun, terutama periode 1785-1885 telah melakukan total deforestation, sehingga di sana tidak ada lagi biodiversity [keanekaragaman hayati]. Kalau kita lihat, hutan di sana itu sudah tidak ada kehidupan lagi," tutur mantan Duta Besar RI untuk Polandia tersebut.
Peter mengakui, banyak kerusakan hutan yng terjadi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Namun demikian, pemerintah sudah banyak melakukan perbaikan dengan berbagai kebijakan seperti moratorium sawit dan sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil).
"Dari tadinya deforestasi kita mencapai 2 juta hektare (per tahun), tahun lalu angkanya sudah menurun hingga tinggal 400 ribu hektare. Jadi kita sudah menurunkan. Memang masih ada izin-izin [perkebunan sawit] yang sedang dikaji, dan akan coba diberhentikan," jelasnya.
Simak video penjelasan RI terkait deforestasi di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Sambut New Normal, Harga CPO Naik Hampir 10% dalam Sebulan
Most Popular