Rupiah Melemah Bukan Cuma Gara-gara Resesi AS Lho

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 March 2019 09:30
Rupiah Melemah Bukan Cuma Gara-gara Resesi AS <i>Lho</i>
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini terus melemah. Tidak hanya itu, rupiah juga menjadi mata uang terlemah di Asia. 

Pada Senin (25/3/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.225. Rupiah melemah 0,46% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah sedikit membaik. Pada pukul 09:05 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.210 di mana rupiah melemah 0,35%. Namun ini tidak menutup fakta bahwa rupiah sudah melemah sejak pembukaan pasar, belum pernah sedetik pun menyentuh zona hijau.

Dengan apresiasi 0,35%, rupiah masih bertahan di posisi juru kunci di klasemen mata uang utama Asia. Dalam hal melemah terhadap dolar AS, rupiah juaranya. 


Agak disayangkan, karena sebagian besar mata uang Asia sudah berhasil menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya ringgit Malaysia yang masih melemah. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 09:08 WIB: 



Faktor domestik dan eksternal memang membuat langkah rupiah begitu berat. Dari dalam negeri, rupiah sudah menguat lumayan tajam pekan lalu yaitu 0,67%. Bahkan rupiah sempat menguat 5 hari beruntun. 


Ini membuat rupiah menjadi rentan terkena serangan ambil untung (profit taking). Investor yang melihat cuan yang didapat dari rupiah sudah lumayan, tergerak untuk mencairkan keuntungan tersebut. Rupiah pun terpapar aksi jual. 

Selain itu, sekarang sudah semakin mendekati akhir kuartal I. Biasanya kebutuhan valas korporasi asing jelang akhir kuartal akan meningkat, karena ada pembayaran dividen. Rupiah kembali mengalami tekanan jual karena tingginya kebutuhan valas. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sementara dari sisi eksternal, rupiah menjadi korban persepsi investor terhadap risiko resesi di AS. Sejak pekan lalu, sudah ada kekhawatiran mengenai hal tersebut akibat perkembangan di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.  

Pada pukul 09:13 WIB, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 3 bulan ada di 2,4527%. Sementara tenor 10 tahun lebih rendah yaitu 2,4337%. 

Yield dua seri obligasi ini sering dijadikan alat untuk mengukur risiko terjadinya resesi. Ketika terjadi inversi (yield jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang), maka kemungkinan akan terjadi resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Sebab, investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk obligasi jangka pendek yang artinya risiko akan lebih besar dalam waktu dekat. 


Kekhawatiran itu menyebabkan terjadinya pelarian dana-dana ke aset yang dinilai lebih berkualitas (flight to quality). Ternyata aset-aset di Indonesia belum terlalu memenuhi kriteria tersebut. 

Di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 0,94% pada pukul 09:17 WIB di mana investor asing membukukan jual bersih Rp 22,92 miliar. Sementara di pasar obligasi, yield surat utang pemerintah Indonesia tenor 10 tahun naik 5,2 basis poin (bps) ke 7,649%. Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena minimnya minat pelaku pasar, atau bahkan terjadi tekanan jual.   




TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular