Rupiah Lemas 4 Hari di Kurs Tengah BI, di Pasar Spot Juga?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 March 2019 10:45
Rupiah Menanggung Banyak Beban
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Namun, apa yang membuat rupiah tidak bisa memanfaatkan situasi tersebut? Alasannya memang cukup banyak, sehingga langkah rupiah terasa begitu berat. 

Pertama, penguatan rupiah sebelumnya sudah cukup signifikan. Sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu, rupiah sudah menguat 1,84% terhadap dolar AS. Dalam periode yang sama tahun lalu, rupiah melemah 1,33%. 

 

Oleh karena itu, rupiah menjadi agak rentan terkena koreksi teknikal. Penguatan rupiah yang sudah cukup tajam akan menggoda investor untuk mencairkan keuntungan. Rupiah yang terkena tekanan jual menjadi berisiko melemah. 

Kedua, sepertinya masih ada perbedaan arah kebijakan moneter antara Bank Indonesia (BI) dengan Bank Sentral AS, The Federal Reserves/The Fed. Jerome 'Jay' Powell dan kolega, walau tidak seagresif tahun lalu, masih dalam jalur menaikkan suku bunga acuan. Tahun ini, kemungkinan masih ada dua kali lagi kenaikan karena target median Federal Funds Rate pada akhir 2019 adalah 2,8% sementara sekarang di 2,375%. 

Sementara Perry Warijyo, Gubernur BI, justru mengisyaratkan membuka peluang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate jika situasi memungkinkan. "Ke depan arah suku bunga akan lebih turun, kalau stabilitas ini kita jaga. Suku bunga sudah hampir mencapai puncaknya," kata Perry dalam acara CNBC Indonesia Outlook 2019, pekan lalu. 


Berbekal potensi kenaikan Federal Funds Rate (meski tidak dalam waktu dekat), berinvestasi di dolar AS lebih menjanjikan cuan. Akibatnya, preferensi investor masih ke arah mata uang Negeri Paman Sam. Ruang penguatan rupiah menjadi semakin terbatas. 

Ketiga, harga minyak juga tidak mendukung penguatan rupiah. Pada pukul 10:26 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,37% dan 0,39%. 


Kenaikan harga minyak bukan berita bahagia buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor karena produksi tidak mencukupi. 

Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa yang lebih jangka panjang ketimbang portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik.

Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset yang nilainya berisiko turun.   

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular