Rupiah Lemas 4 Hari di Kurs Tengah BI, di Pasar Spot Juga?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 March 2019 10:45
Rupiah Lemas 4 Hari di Kurs Tengah BI, di Pasar Spot Juga?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs tengah Bank Indonesia (BI) kembali melemah. Mata uang Tanah Air sudah melemah selama 4 hari beruntun. 

Pada Senin (4/3/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.149. Rupiah melemah 0,27% dibandingkan posisi akhir pekan lalu. 

Pelemahan hari ini menggenapi depresiasi rupiah di kurs tengah BI menjadi 4 hari berturut-turut. Dalam periode ini, rupiah melemah 1,14%. 

 

Tidak hanya di kurs tengah BI, rupiah pun tidak berdaya di hadapan dolar AS di pasar spot. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.140. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Saat pembukaan pasar, rupiah hanya melemah 0,04%. Pelemahan yang tipis itu memunculkan harapan rupiah mampu bangkit. 


Namun dengan perkembangan terkini, sepertinya agak sulit bagi rupiah untuk bebas dari zona merah. Kemungkinan nasib rupiah di pasar spot akan sama dengan di kurs tengah BI yaitu melemah 4 hari beruntun. 

Meski rupiah masih melemah, tetapi posisinya di klasemen mata uang Asia agak membaik. Rupiah kini tidak lagi menjadi mata uang terlemah di Asia, karena posisi juru kunci kini ditempati rupee India. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang Asia pada pukul 10:12 WIB: 





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Padahal mayoritas mata uang Asia mampu menguat terhadap dolar AS. Tidak hanya di Asia, dolar AS juga melemah secara global. Pada pukul 10:15 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,09%. 

Investor mulai berani melirik aset-aset berisiko di Asia karena perkembangan positif hubungan AS-China. Mengutip Wall Street Journal, beberapa sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan bahwa Beijing bersedia untuk menurunkan bea masuk dan mengurangi hambatan untuk masuknya produk-produk pertanian, farmasi, otomotif, dan lain-lain asal AS. 

Selain itu, para sumber tersebut juga menyebutkan bahwa kesepakatan dagang AS-China akan ditandatangani pada 27 Maret. Sebagai bagian dari kesepakatan dagang, China berkomitmen untuk membeli gas alam senilai US$ 18 miliar dari Cheniere Energy yang berbasis di Houston, Texas. 

Sikap China ini merupakan 'balas budi' terhadap kebijakan AS yang menunda kenaikan tarif bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Penundaan ini akan dituangkan dalam peraturan pemerintah yang terbit pada Kamis pekan ini waktu Washington. 

"Kenaikan tarif tidak lagi layak untuk diterapkan mengingat perkembangan negosiasi yang berjalan sejak Desember 2018. Tarif akan tetap 10% sampai ada pemberitahuan selanjutnya," sebut keterangan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters. 

Perkembangan ini membuat asa damai dagang AS-China kembali merekah. Damai dagang AS-China akan membawa kemakmuran bagi dunia, karena membuat arus perdagangan dan rantai pasok kembali semarak. Pertumbuhan ekonomi global pun bisa lebih baik. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun, apa yang membuat rupiah tidak bisa memanfaatkan situasi tersebut? Alasannya memang cukup banyak, sehingga langkah rupiah terasa begitu berat. 

Pertama, penguatan rupiah sebelumnya sudah cukup signifikan. Sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu, rupiah sudah menguat 1,84% terhadap dolar AS. Dalam periode yang sama tahun lalu, rupiah melemah 1,33%. 

 

Oleh karena itu, rupiah menjadi agak rentan terkena koreksi teknikal. Penguatan rupiah yang sudah cukup tajam akan menggoda investor untuk mencairkan keuntungan. Rupiah yang terkena tekanan jual menjadi berisiko melemah. 

Kedua, sepertinya masih ada perbedaan arah kebijakan moneter antara Bank Indonesia (BI) dengan Bank Sentral AS, The Federal Reserves/The Fed. Jerome 'Jay' Powell dan kolega, walau tidak seagresif tahun lalu, masih dalam jalur menaikkan suku bunga acuan. Tahun ini, kemungkinan masih ada dua kali lagi kenaikan karena target median Federal Funds Rate pada akhir 2019 adalah 2,8% sementara sekarang di 2,375%. 

Sementara Perry Warijyo, Gubernur BI, justru mengisyaratkan membuka peluang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate jika situasi memungkinkan. "Ke depan arah suku bunga akan lebih turun, kalau stabilitas ini kita jaga. Suku bunga sudah hampir mencapai puncaknya," kata Perry dalam acara CNBC Indonesia Outlook 2019, pekan lalu. 


Berbekal potensi kenaikan Federal Funds Rate (meski tidak dalam waktu dekat), berinvestasi di dolar AS lebih menjanjikan cuan. Akibatnya, preferensi investor masih ke arah mata uang Negeri Paman Sam. Ruang penguatan rupiah menjadi semakin terbatas. 

Ketiga, harga minyak juga tidak mendukung penguatan rupiah. Pada pukul 10:26 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,37% dan 0,39%. 


Kenaikan harga minyak bukan berita bahagia buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor karena produksi tidak mencukupi. 

Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa yang lebih jangka panjang ketimbang portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik.

Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset yang nilainya berisiko turun.   


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular