Harga Minyak Naik, 'Luka' Rupiah Kian Menganga

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 March 2019 09:27
Harga Minyak Naik, 'Luka' Rupiah Kian Menganga
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah tidak kunjung menemukan momentum untuk kembali perkasa. 

Pada Senin (4/3/2018) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.150. Rupiah melemah 0,28% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.  

Seiring perjalanan, depresiasi rupiah agak menipis. Pada pukul 09:07 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.145 di mana rupiah melemah 0,25%. 

Kala pembukaan perdagangan pasar spot, rupiah hanya melemah 0,04%. Pelemahan yang tipis itu membuka harapan bahwa rupiah bisa bangkit setelah 3 hari beruntun terjebak di zona merah. 


Namun kini harapan itu justru semakin jauh. Bukan tanpa alasan, sebab kini rupiah masih menyandang 'gelar' sebagai mata uang terlemah di Asia. Dalam hal melemah di hadapan dolar AS, rupiah adalah jagonya. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:09 WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Satu lagi alasan rupiah sulit menguat hari ini adalah harga minyak. Pada pukul 09:11 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,4% dan light sweet bertambah 0,52%.  

Dalam sepekan terakhir, harga brent dan light sweet melonjak masing-masing 1,06% dan 1,19%. Sementara selama sebulan ke belakang, harga brent dan light sweet juga meroket 5,6% dan 4,63%. 

 


Kenaikan harga si emas hitam hari ini dipicu oleh hubungan AS-China yang kembali harmonis. Mengutip Wall Street Journal, beberapa sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan bahwa Beijing bersedia untuk menurunkan bea masuk dan mengurangi hambatan untuk masuknya produk-produk pertanian, farmasi, otomotif, dan lain-lain asal AS. 

Selain itu, para sumber tersebut juga menyebutkan bahwa kesepakatan dagang AS-China akan ditandatangani pada 27 Maret. Sebagai bagian dari kesepakatan dagang, China berkomitmen untuk membeli gas alam senilai US$ 18 miliar dari Cheniere Energy yang berbasis di Houston, Texas. 

Sikap China ini merupakan 'balas budi' terhadap kebijakan AS yang menunda kenaikan tarif bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Penundaan ini akan dituangkan dalam peraturan pemerintah yang terbit pada Kamis pekan ini waktu Washington. 

"Kenaikan tarif tidak lagi layak untuk diterapkan mengingat perkembangan negosiasi yang berjalan sejak Desember 2018. Tarif akan tetap 10% sampai ada pemberitahuan selanjutnya," sebut keterangan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters. 

Perkembangan ini membuat asa damai dagang AS-China kembali merekah. Damai dagang AS-China akan membawa kemakmuran bagi dunia, karena membuat arus perdagangan dan rantai pasok kembali semarak. Pertumbuhan ekonomi global pun bisa lebih baik. 

Membaiknya pertumbuhan ekonomi berarti permintaan energi akan ikut terkatrol. Akibatnya jelas, harga minyak bergerak ke utara alias menguat. 

Kenaikan harga minyak bukan berita bahagia buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor karena produksi tidak mencukupi.

Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa yang lebih jangka panjang ketimbang portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik. 

Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset yang nilainya berisiko turun.   



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular