
Syukuri Saja, Setidaknya Rupiah Bukan yang Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 March 2019 16:50

Mata uang Asia, termasuk rupiah, memang sulit menandingi keperkasaan dolar AS. Pada pukul 16:28 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,18%. Dollar Index tidak pernah melemah sepanjang hari ini.
Data-data ekonomi Negeri Paman Sam sebenarnya kurang mendukung penguatan dolar AS. Sepanjang 2018, ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 2,9% dibandingkan tahun sebelumnya atau di bawah target pemerintah yaitu 3%. Ternyata pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secepat yang diperkirakan.
Pada kuartal IV-2016, ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 2,6% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,4%. Padahal pada kuartal IV ada perayaan Thanksgiving, Hari Natal, dan Tahun Baru.
Kemudian, jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 23 Februari naik 8.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 225.000. Ini menjadi angka tertinggi dalam 10 bulan terakhir.
Perkembangan ini tentu membuat The Federal Reserves/The Fed semakin hati-hati. Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan besar tidak akan terjadi dalam waktu dekat sehingga tidak suportif terhadap dolar AS.
Namun masalahnya, kondisi di negara lain juga tidak lebih baik. Apalagi di Eropa dan Jepang, yang merupakan 'sparring partner' AS.
PMI manufaktur Zona Euro versi IHS/Markit edisi Februari 2019 menunjukkan angka 49,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,5 dan menjadi pencapaian terendah sejak Juni 2013. Di Jepang, seperti sudah disinggung, PMI manufaktur juga turun.
Artinya, Bank Sentral Uni Eropa (BoE) dan Bank Sentral Jepang (BoJ) kemungkinan besar masih akan terjebak dalam siklus kebijakan moneter longgar. Sekalem-kalemnya The Fed, masih ada kemungkinan Federal Funds Rate untuk naik pada tahun ini, walau cuma sekali.
"Jadi dolar AS tetap akan diminati, selama bank sentral Eropa dan Jepang masih berkutat dengan kebijakan moneter yang cenderung longgar seperti sekarang," ujar Daisuke Karakama, Chief Market Economist di Mizuho Bank.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Data-data ekonomi Negeri Paman Sam sebenarnya kurang mendukung penguatan dolar AS. Sepanjang 2018, ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 2,9% dibandingkan tahun sebelumnya atau di bawah target pemerintah yaitu 3%. Ternyata pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secepat yang diperkirakan.
Pada kuartal IV-2016, ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 2,6% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,4%. Padahal pada kuartal IV ada perayaan Thanksgiving, Hari Natal, dan Tahun Baru.
Perkembangan ini tentu membuat The Federal Reserves/The Fed semakin hati-hati. Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan besar tidak akan terjadi dalam waktu dekat sehingga tidak suportif terhadap dolar AS.
Namun masalahnya, kondisi di negara lain juga tidak lebih baik. Apalagi di Eropa dan Jepang, yang merupakan 'sparring partner' AS.
PMI manufaktur Zona Euro versi IHS/Markit edisi Februari 2019 menunjukkan angka 49,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,5 dan menjadi pencapaian terendah sejak Juni 2013. Di Jepang, seperti sudah disinggung, PMI manufaktur juga turun.
Artinya, Bank Sentral Uni Eropa (BoE) dan Bank Sentral Jepang (BoJ) kemungkinan besar masih akan terjebak dalam siklus kebijakan moneter longgar. Sekalem-kalemnya The Fed, masih ada kemungkinan Federal Funds Rate untuk naik pada tahun ini, walau cuma sekali.
"Jadi dolar AS tetap akan diminati, selama bank sentral Eropa dan Jepang masih berkutat dengan kebijakan moneter yang cenderung longgar seperti sekarang," ujar Daisuke Karakama, Chief Market Economist di Mizuho Bank.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular