RI Dibanjiri Modal Asing, This Time is Different?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 March 2019 15:49
RI Dibanjiri Modal Asing, <i>This Time is Different</i>?
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Arus modal asing mengalir deras ke pasar keuangan Indonesia. Hot money ini berhasil menopang penguatan nilai tukar rupiah sehingga menjadi salah satu yang terkuat di Asia. 

Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), mengungkapkan arus modal asing yang masuk ke pasar keuangan domestik mencapai Rp 63 triliun sejak awal tahun hingga akhir Februari. Selama periode yang sama pada 2018, dana yang masuk 'cuma' Rp 6 triliun. 




Pasokan valas yang melimpah dari sektor keuangan membuat rupiah perkasa. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah menguat 2,5% sejak awal tahun. Rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari duo baht Thailand dan yuan China. 

 

Kondisi ini tentu sangat membuai, membahagiakan. Berbagai pihak menyatakan bahwa derasnya aliran modal asing merupakan bentuk kepercayaan dunia kepada Indonesia. 

Namun kita tidak boleh terlena. Sebab, bisa saja tidak selama kebahagiaan ini bertahan. Masih ada risiko pembalikan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Kalau melihat grafik pergerakan rupiah, sebenarnya pada 2018 pun mirip-mirip. Rupiah cenderung menguat sejak awal tahun, sebelum kemudian berbalik arah pada Februari. 

 

Pada awal-awal 2018, rupiah terbawa arus penguatan pasar keuangan global akibat pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) di AS. Ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh kencang karena pemotongan tarif PPh membuat konsumen dan dunia usaha ekspansif. 

Namun kencangnya pertumbuhan ekonomi AS membuat The Federal Reserves/The Fed turun tangan. Untuk menghindari risiko overheating, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memutuskan untuk mengencangkan ikat pinggang dengan menaikkan suku bunga acuan. Sepanjang 2018, Federal Funds Rate naik sampai 4 kali atau 100 basis poin (bps). 

Sementara negara-negara lain masih berkutat dengan kebijakan moneter longgar, The Fed yang agresif menaikkan suku bunga tentu membuat berinvestasi di dolar AS menjadi sangat menarik. Arus modal menyemut di sekitar Negeri Adidaya, hanya menyisakan remah-remah bagi negara lain termasuk Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Tahun ini, kondisi yang sama bukan tidak mungkin kembali terulang. Pada awal tahun, investor berbunga-bunga karena The Fed sepertinya tidak terlalu agresif. BI memperkirakan kenaikan Federal Funds Rate hanya sekali pada 2019. 

Kemudian ada aura damai dagang AS-China, yang mencuat setelah pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina pada awal Desember 2018. Dialog dagang AS-China berlanjut dan harapan akan damai dagang merekah. 

Dua hal itulah yang menjadi faktor utama penyebab derasnya arus modal asing ke pasar keuangan Indonesia. Rupiah pun mampu menguat signifikan. 

Saat kondisi tenang dan membuai seperti ini, biasanya muncul kalimat "this time is different". Kali ini berbeda. Modal asing tidak akan ke mana-mana, karena tingginya kepercayaan kepada Indonesia. 

Sikap seperti ini yang bisa menjadi bumerang. Terlalu terbuai, terlalu nyaman, membuat kita lupa diri dan lupa bahwa ke depan ada risiko besar yang mengintai. 

Meski pada 2019 The Fed lebih 'jinak' dibandingkan tahun lalu, tetapi itu sama saja seperti memelihara anak macan. Sekalem-kalemnya The Fed, suku bunga acuan kemungkinan masih akan naik tahun ini walau cuma sekali. 

Ini akan menjadi masalah kala bank sentral negara-negara besar seperti Jepang atau Uni Eropa masih saja terjebak dengan kebijakan moneter longgar. Bank Sentral Uni Eropa (ECB) memang sudah mengakhiri stimulus moneternya pada akhir tahun lalu. Namun soal kenaikan suku bunga, nanti dulu. 

Awalnya Mario Draghi cs diperkirakan mulai menaikkan suku bunga acuan pada musim panas (tengah tahun) 2019. Namun dengan perlambatan ekonomi Benua Biru yang semakin cetha wela-wela, sepertinya rencana ini bakal tertunda.  

Misalnya pada Januari 2019, laju inflasi di Zona Euro tercatat 1,4% year-on-year (YoY). Ini merupakan laju paling lemah sejak April 2018. Inflasi yang seperti ini menunjukkan permintaan di wilayah itu masih lemah, aktivitas ekonomi belum bangkit sepenuhnya. 

Bank Sentral Jepang (BoJ) pun menghadapi masalah serupa. Haruhiko Kuroda dan rekan memperkirakan inflasi Negeri Matahari Terbit pada tahun fiskal 2019 ada di 1,1%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 1,6%. Artinya, suku bunga rendah masih dibutuhkan untuk menstimulasi permintaan. 

Jadi, kemungkinan The Fed masih tanpa lawan sepadan. Meski hanya menaikkan suku bunga sekali, The Fed masih lebih agresif ketimbang ECB dan BoJ. 

Oleh karena itu, dolar AS lagi-lagi berpeluang menjadi buruan utama pelaku pasar. Selagi mata uang negara-negara maju lainnya kurang seksi akibat kebijakan moneter longgar, dolar AS masih menawarkan cuan karena The Fed membuka peluang kenaikan suku bunga acuan. 

Plus, jalan menuju damai dagang AS-China ternyata berliku. Bahkan selepas perundingan intensif selama 2 pekan, hubungan AS-Washington kembali tegang. Prospek damai dagang menjadi samar-samar. 


Situasi ini berpotensi membuat investor kembali 'memeluk' dolar AS. Arus modal kemungkinan lagi-lagi berada di sekitar greenback. Deja vu... 

Jadi, ada baiknya kita tidak terlanjur nyaman dengan derasnya arus modal asing. Jangan sampai ada kalimat "this time is different" karena itu akan menjadi awal mula bencana.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular