IHSG Terbaik di Asia, Rupiah Sebaliknya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 March 2019 12:55
Ini yang Membuat Rupiah Tak Bisa Perkasa
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Salah satu faktor pemberat rupiah adalah harga minyak. Pada pukul 12:23 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,89% dan light sweet bertambah 0,35%. 


Harga minyak dan rupiah bukan sahabat baik. Saat harga minyak naik, maka biaya impor komoditas ini akan membengkak sehingga membebani neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account). 

Sementara transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi rupiah. Transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang bersifat jangka panjang. Tidak seperti investasi portofolio di sektor keuangan yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik. 

Kekurangan pasokan devisa, rupiah tentu berpotensi melemah. Risiko ini membuat investor berpikir ulang untuk mengoleksi mata uang Tanah Air. 

Selain itu, rupiah sudah menguat cukup tajam sejak awal tahun. Hingga kemarin, rupiah sudah menguat 2,5% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari baht dan yuan. 

 

Penguatan yang sudah cukup tajam ini membuat rupiah menjadi rentan terserang koreksi teknikal. Investor tentu suatu saat akan tergoda untuk mencairkan keuntungan yang sudah didapat dari mengolek rupiah. Apalagi ketika pemicunya. 

Hari ini kebetulan ada pemicu yang membuat pelaku pasar melepas rupiah. Investor sedang mencemaskan hubungan AS-China yang menegang setelah keduanya menebar harapan damai dagang. 

Presiden AS Donald Trump menegaskan dirinya siap membatalkan perundingan dagang dengan China jika hasilnya tidak memuaskan. "Saya selalu siap untuk keluar. Saya tidak pernah takut untuk keluar dari kesepakatan, termasuk dengan China," tegasnya, dikutip dari Reuters. 

Kemudian, China memprotes keras keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang subsidi beras dan gandum. Pihak penggugatnya siapa lagi kalau bukan AS. Menurut AS, China terlalu banyak memberi subsidi kepada para petaninya.

"China memberikan dukungan yang terlalu eksesif sehingga membatasi peluang bagi petani AS untuk mengekspor produk ke negara tersebut. Kami berharap China segera mematuhi ketentuan WTO," tegas Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters. 

Kementerian Perdagangan China dalam pernyataan tertulis, seperti dikutip dari Reuters, menyatakan program subsidi pertanian dilakukan dalam koridor yang diperkenankan oleh WTO. Subsidi di sektor pertanian, menurut China, juga sebuah praktik yang lumrah di berbagai negara. Oleh karena itu, China menyesalkan keputusan WTO yang memenangkan gugatan AS. 

Hubungan AS-China yang kembali tegang menyebabkan pelaku pasar khawatir. Jangan-jangan damai dagang yang selama ini diidamkan bisa buyar. Ini tentu menjadi sebuah risiko besar bagi perekonomian global, risiko perlambatan menjadi semakin nyata. 



TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular