
IHSG Terbaik di Asia, Rupiah Sebaliknya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 March 2019 12:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Bahkan deflasi pun tidak mampu menyelamatkan rupiah.
Pada Jumat (29/2/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.110. Rupiah melemah 0,36% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,26%. Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin melemah dan dolar AS kembali menembus Rp 14.100.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:
Di Asia, tidak hanya rupiah yang melemah. Yen Jepang, yuan China, ringgit Malaysia, dan baht Thailand juga mengikuti jejak rupiah.
Namun memang sejak pagi tadi rupiah masih 'betah' di dasar klasemen mata uang Asia. Ya, untuk urusan melemah di hadapan dolar AS rupiah adalah yang 'terbaik'.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:14 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Padahal ada sentimen positif yang memayungi pasar keuangan Indonesia. Badan Pusat Statistik mengumumkan pada Februari 2019 terjadi deflasi 0,08% secara bulanan (month-to-month) sehingga inflasi tahunan tetap 'santai' di 2,57%. Ini merupakan laju inflasi tahunan paling lambat sejak November 2009.
Seharusnya ini menjadi obat kuat buat rupiah. Berinvestasi di instrumen berbasis rupiah akan tetap menguntungkan karena nilainya tidak terlalu tergerus oleh inflasi.
Namun inflasi yang 'jinak' berhasil mengangkat pasar saham domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,86% di perdagangan Sesi I. IHSG menjadi indeks terbaik di Asia, nasib yang bak bumi-langit dibandingkan rupiah.
Berikut perkembangan indeks saham utama Asia pada pukul 12:21 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Salah satu faktor pemberat rupiah adalah harga minyak. Pada pukul 12:23 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,89% dan light sweet bertambah 0,35%.
Harga minyak dan rupiah bukan sahabat baik. Saat harga minyak naik, maka biaya impor komoditas ini akan membengkak sehingga membebani neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account).
Sementara transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi rupiah. Transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang bersifat jangka panjang. Tidak seperti investasi portofolio di sektor keuangan yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik.
Kekurangan pasokan devisa, rupiah tentu berpotensi melemah. Risiko ini membuat investor berpikir ulang untuk mengoleksi mata uang Tanah Air.
Selain itu, rupiah sudah menguat cukup tajam sejak awal tahun. Hingga kemarin, rupiah sudah menguat 2,5% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari baht dan yuan.
Penguatan yang sudah cukup tajam ini membuat rupiah menjadi rentan terserang koreksi teknikal. Investor tentu suatu saat akan tergoda untuk mencairkan keuntungan yang sudah didapat dari mengolek rupiah. Apalagi ketika pemicunya.
Hari ini kebetulan ada pemicu yang membuat pelaku pasar melepas rupiah. Investor sedang mencemaskan hubungan AS-China yang menegang setelah keduanya menebar harapan damai dagang.
Presiden AS Donald Trump menegaskan dirinya siap membatalkan perundingan dagang dengan China jika hasilnya tidak memuaskan. "Saya selalu siap untuk keluar. Saya tidak pernah takut untuk keluar dari kesepakatan, termasuk dengan China," tegasnya, dikutip dari Reuters.
Kemudian, China memprotes keras keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang subsidi beras dan gandum. Pihak penggugatnya siapa lagi kalau bukan AS. Menurut AS, China terlalu banyak memberi subsidi kepada para petaninya.
"China memberikan dukungan yang terlalu eksesif sehingga membatasi peluang bagi petani AS untuk mengekspor produk ke negara tersebut. Kami berharap China segera mematuhi ketentuan WTO," tegas Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters.
Kementerian Perdagangan China dalam pernyataan tertulis, seperti dikutip dari Reuters, menyatakan program subsidi pertanian dilakukan dalam koridor yang diperkenankan oleh WTO. Subsidi di sektor pertanian, menurut China, juga sebuah praktik yang lumrah di berbagai negara. Oleh karena itu, China menyesalkan keputusan WTO yang memenangkan gugatan AS.
Hubungan AS-China yang kembali tegang menyebabkan pelaku pasar khawatir. Jangan-jangan damai dagang yang selama ini diidamkan bisa buyar. Ini tentu menjadi sebuah risiko besar bagi perekonomian global, risiko perlambatan menjadi semakin nyata.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Jumat (29/2/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.110. Rupiah melemah 0,36% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,26%. Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin melemah dan dolar AS kembali menembus Rp 14.100.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:
Di Asia, tidak hanya rupiah yang melemah. Yen Jepang, yuan China, ringgit Malaysia, dan baht Thailand juga mengikuti jejak rupiah.
Namun memang sejak pagi tadi rupiah masih 'betah' di dasar klasemen mata uang Asia. Ya, untuk urusan melemah di hadapan dolar AS rupiah adalah yang 'terbaik'.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:14 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Padahal ada sentimen positif yang memayungi pasar keuangan Indonesia. Badan Pusat Statistik mengumumkan pada Februari 2019 terjadi deflasi 0,08% secara bulanan (month-to-month) sehingga inflasi tahunan tetap 'santai' di 2,57%. Ini merupakan laju inflasi tahunan paling lambat sejak November 2009.
Seharusnya ini menjadi obat kuat buat rupiah. Berinvestasi di instrumen berbasis rupiah akan tetap menguntungkan karena nilainya tidak terlalu tergerus oleh inflasi.
Namun inflasi yang 'jinak' berhasil mengangkat pasar saham domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,86% di perdagangan Sesi I. IHSG menjadi indeks terbaik di Asia, nasib yang bak bumi-langit dibandingkan rupiah.
Berikut perkembangan indeks saham utama Asia pada pukul 12:21 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Salah satu faktor pemberat rupiah adalah harga minyak. Pada pukul 12:23 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,89% dan light sweet bertambah 0,35%.
Harga minyak dan rupiah bukan sahabat baik. Saat harga minyak naik, maka biaya impor komoditas ini akan membengkak sehingga membebani neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account).
Sementara transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi rupiah. Transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang bersifat jangka panjang. Tidak seperti investasi portofolio di sektor keuangan yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik.
Kekurangan pasokan devisa, rupiah tentu berpotensi melemah. Risiko ini membuat investor berpikir ulang untuk mengoleksi mata uang Tanah Air.
Selain itu, rupiah sudah menguat cukup tajam sejak awal tahun. Hingga kemarin, rupiah sudah menguat 2,5% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari baht dan yuan.
Penguatan yang sudah cukup tajam ini membuat rupiah menjadi rentan terserang koreksi teknikal. Investor tentu suatu saat akan tergoda untuk mencairkan keuntungan yang sudah didapat dari mengolek rupiah. Apalagi ketika pemicunya.
Hari ini kebetulan ada pemicu yang membuat pelaku pasar melepas rupiah. Investor sedang mencemaskan hubungan AS-China yang menegang setelah keduanya menebar harapan damai dagang.
Presiden AS Donald Trump menegaskan dirinya siap membatalkan perundingan dagang dengan China jika hasilnya tidak memuaskan. "Saya selalu siap untuk keluar. Saya tidak pernah takut untuk keluar dari kesepakatan, termasuk dengan China," tegasnya, dikutip dari Reuters.
Kemudian, China memprotes keras keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang subsidi beras dan gandum. Pihak penggugatnya siapa lagi kalau bukan AS. Menurut AS, China terlalu banyak memberi subsidi kepada para petaninya.
"China memberikan dukungan yang terlalu eksesif sehingga membatasi peluang bagi petani AS untuk mengekspor produk ke negara tersebut. Kami berharap China segera mematuhi ketentuan WTO," tegas Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters.
Kementerian Perdagangan China dalam pernyataan tertulis, seperti dikutip dari Reuters, menyatakan program subsidi pertanian dilakukan dalam koridor yang diperkenankan oleh WTO. Subsidi di sektor pertanian, menurut China, juga sebuah praktik yang lumrah di berbagai negara. Oleh karena itu, China menyesalkan keputusan WTO yang memenangkan gugatan AS.
Hubungan AS-China yang kembali tegang menyebabkan pelaku pasar khawatir. Jangan-jangan damai dagang yang selama ini diidamkan bisa buyar. Ini tentu menjadi sebuah risiko besar bagi perekonomian global, risiko perlambatan menjadi semakin nyata.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular