
Stress Test Fitch Ratings: Sektor Properti Bakal Tertampar
Monica Wareza, CNBC Indonesia
12 February 2019 12:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Fitch Ratings Indonesia melakukan stress test atau uji ketahanan guna mengukur kerentanan perekonomian Indonesia jika pemerintah Amerika Serikat (AS) melakukan pengetatan ekonomi lebih lanjut.
Hasilnya, sektor properti akan menjadi sektor yang akan terkena tamparan keras akibat kebijakan pengetatan di AS tersebut.
Ratings Director Fitch Ratings Indonesia Eddy Handali mengatakan sektor properti Indonesia menjadi yang paling rentan dengan pertimbangan Bank Indonesia akan mengerek suku bunga mengikuti kebijakan pengetatan ekonomi AS di mana suku bunga BI berpotensi naik hingga ke level 9% dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di level Rp 18.000.
"Karena sektor properti itu sifatnya membutuhkan dana yang besar sehingga meminjam uang dalam bentuk dolar AS di luar negeri karena pasar dalam negeri tidak dapat menyerap. Mereka menggunakan uang itu untuk belanja modal, membeli persediaan tanah dan siklusnya berlangsung lama dan tidak mudah dilikuidasi," kata Eddy di Jakarta, Selasa (12/2).
Menurut Eddy, jika permintaan melemah di tengah kebutuhan pendanaan yang meningkat maka tekanan yang diderita sektor properti akan lebih besar karena likuiditas di pasar tidak cukup.
Dengan kondisi tersebut, katanya, perusahaan-perusahaan yang berpenghasilan dolar AS akan menjadi yang paling diuntungkan, terutama perusahaan komoditas dan perusahaan dengan ekspor yang tinggi. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut justru akan mendulang keuntungan dengan nilai rupiah yang melemah.
Fitch Ratings menggunakan skema akan terjadi lonjakan inflasi, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) akan turun dari 5% ke 4,3%, kenaikan suku bunga hingga 9% dan kurs rupiah terdepresiasi menuju Rp 18.000/dolar AS.
Eddy menyebutkan, bahwa kondisi tersebut mirip dengan kondisi yang terjadi di Indonesia pada 2013 saat posisi rupiah melemah terhadap dolar, inflasi melonjak menjadi 8%, cadangan devisa juga turun drastis. Tahun ini, katanya, kondisi yang sama juga terjadi kendati tak sebesar 2013 karena pemerintah dan korporasi dinilai lebih siap dari sebelumnya.
Akhir Januari lalu, bank sentral AS, The Fed, memutuskan menahan bunga acuan dan menegaskan bahwa penyesuaian suku bunga di masa depan akan dilakukan dengan sabar dan mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini. The Fed secara bulat menyepakati untuk menahan suku bunga di kisaran 2,25% hingga 2,5%.
Sebagai gambaran, saham-saham properti di Bursa Efek Indonesia pada perdagangan siang ini, Selasa (12/2/2019), juga kompak terkoreksi dalam.
Beberapa saham properti yang melemah yakni PT Sentul City Tbk (BKSL) -3,70%, PT PP Properti Tbk (PPRO) -4,24%, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) -1,84%, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) -3,16, PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) -3,41%, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) -2,15% dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) -3,65%.
(tas) Next Article Siapkah Perusahaan Indonesia jika Rupiah 18.000/ Dolar AS?
Hasilnya, sektor properti akan menjadi sektor yang akan terkena tamparan keras akibat kebijakan pengetatan di AS tersebut.
Ratings Director Fitch Ratings Indonesia Eddy Handali mengatakan sektor properti Indonesia menjadi yang paling rentan dengan pertimbangan Bank Indonesia akan mengerek suku bunga mengikuti kebijakan pengetatan ekonomi AS di mana suku bunga BI berpotensi naik hingga ke level 9% dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di level Rp 18.000.
Menurut Eddy, jika permintaan melemah di tengah kebutuhan pendanaan yang meningkat maka tekanan yang diderita sektor properti akan lebih besar karena likuiditas di pasar tidak cukup.
Dengan kondisi tersebut, katanya, perusahaan-perusahaan yang berpenghasilan dolar AS akan menjadi yang paling diuntungkan, terutama perusahaan komoditas dan perusahaan dengan ekspor yang tinggi. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut justru akan mendulang keuntungan dengan nilai rupiah yang melemah.
Fitch Ratings menggunakan skema akan terjadi lonjakan inflasi, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) akan turun dari 5% ke 4,3%, kenaikan suku bunga hingga 9% dan kurs rupiah terdepresiasi menuju Rp 18.000/dolar AS.
Eddy menyebutkan, bahwa kondisi tersebut mirip dengan kondisi yang terjadi di Indonesia pada 2013 saat posisi rupiah melemah terhadap dolar, inflasi melonjak menjadi 8%, cadangan devisa juga turun drastis. Tahun ini, katanya, kondisi yang sama juga terjadi kendati tak sebesar 2013 karena pemerintah dan korporasi dinilai lebih siap dari sebelumnya.
Akhir Januari lalu, bank sentral AS, The Fed, memutuskan menahan bunga acuan dan menegaskan bahwa penyesuaian suku bunga di masa depan akan dilakukan dengan sabar dan mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini. The Fed secara bulat menyepakati untuk menahan suku bunga di kisaran 2,25% hingga 2,5%.
Beberapa saham properti yang melemah yakni PT Sentul City Tbk (BKSL) -3,70%, PT PP Properti Tbk (PPRO) -4,24%, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) -1,84%, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) -3,16, PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) -3,41%, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) -2,15% dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) -3,65%.
(tas) Next Article Siapkah Perusahaan Indonesia jika Rupiah 18.000/ Dolar AS?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular