Mungkin Memang Kita Harus Banyak Doa Demi CAD

Taufan Adharsyah & Roy Franedya, CNBC Indonesia
08 February 2019 21:20
Mungkin Memang Kita Harus Banyak Doa Demi CAD
Foto: Ekspor Perdana Kuala Tanjung. (CNBC Indonesia/Anastasia Arvirianty)
JakartaCNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) baru saja merilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal IV-2018 dan keseluruhan tahun 2018.

NPI keseluruhan tahun 2018 berhasil dibukukan pada posisi defisit sebesar US$ 7,1 miliar. Angka defisit tersebut terpantau merupakan yang terparah sejak 2013. Salah satu komponen penyusun NPI yang menjadi perhatian terbesar adalah transaksi berjalan (current account).

Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa pada kuartal IV-2018 tercatat defisit US$ 9,1 miliar atau setara dengan 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan merupakan yang terparah sejak kuartal II-2014.

Sedangkan secara keseluruhan tahun 2018, transaksi berjalan berhasil ditutup dengan nilai Defisit Transaksi Berjalan (CAD) sebesar US$ 31 miliar yang setara dengan 2,98% dari PDB.

Lagi-lagi, rasio tersebut merupakan capaian yang paling parah sejak 2014.



Salah satu penyebab bengkaknya CAD tahun 2018 adalah transaksi barang yang pada tahun 2018 membukukan defisit sebesar US$ 0,43 miliar.

Bahkan, terpantau sejak tahun 1998 baru pertama kali transaksi barang defisit.

Padahal tahun 2017 performa transaksi barang masih berhasil surplus cukup besar, yaitu mencapai US$ 18,81 miliar. Dalang utama terjadinya defisit barang ini tidak lain tidak bukan adalah harga-harga komoditas yang bergejolak sepanjang tahun 2018. 

Kali ini efeknya ganda

Harga rata-rata minyak selama 2018 yang menggerakkan perdagangan migas melonjak sekitar 30% dari tahun sebelumnya.

Mengingat Indonesia merupakan net importir minyak (impor lebih besar dari ekspor), maka tak ayal defisit migas membengkak. Bahkan mencapai US$ 11,5 miliar dan merupakan yang terparah sejak 2014.

Di sisi lain, harga-harga komoditas ekspor Indonesia juga nasibnya serupa. Sebagai informasi, sepanjang 2018 harga CPO amblas 15,26%, Karet jeblok 16,26%, Tembaga merosot 20,28%, Nikel terkoreksi 16,45%, dan Aluminium anjlok 19,28%.

Untungnya batu bara, yang masih menjadi raja komoditas ekspor tanah air masih relatif stabil dengan kenaikan tipis 1,24% sepanjang tahun 2018. Bila harga batu bara jeblok juga, mungkin ceritanya akan lebih menyeramkan.

Karena nilai ekspor Indonesia masih besar sumbangsih dari komoditas, maka tak heran surplus non-migas berada di posisi US$ 11,1 miliar menjadi yang terendah sejak 2012.

Depan kena belakang kena 



Perdagangan jasa sedikit lebih baik nasibnya, walaupun sudah langganan defisit, setidaknya di tahun 2018 agak sedikit berkurang, yang mana hanya sebesar US$ 7,1 miliar, yang merupakan defisit ke-2 terkecil dalam 18 tahun terakhir.

Neraca jasa terbantu oleh banyaknya agenda-agenda internasional yang digelar pada tahun 2018, seperti Asian GamesAsian Para Games, dan IMF-World Bank Annual Meeting.

Agenda tersebut turut mendukung naiknya jumlah wisatawan manca negara sebesar 7,7% (yoy) tahun lalu.



Sementara itu, neraca transaksi primer sepanjang 2018 juga kembali defisit sebesar US$ 30,42. Lagi-lagi merupakan yang terparah dalam 18 tahun terakhir.

Kali ini harus diapresiasi kinerja dari transaksi sekunder yang berhasil membukukan surplus terbesarnya 18 tahun terakhir yaitu sebesar US$ 6,89 miliar.

Bahkan hanya transaksi sekunder yang berhasil membukukan surplus dalam komponen CAD kali ini. Sebagai informasi, transaksi sekunder salah satunya disumbang oleh nilai transfer tenaga kerja.





Lagi-lagi, harga komoditas yang menjadi dalang bengkaknya defisit NPI kali ini membuktikan bahwa faktor eksternal seperti masih kuat pengaruhnya pada kinerja pembayaran.

Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja sektor industri seperti manufaktur RI masih kurang, bahkan cenderung tak bergerak. 

Pasalnya bila barang ekspor dari Indonesia merupakan barang jadi ataupun setengah jadi yang memiliki nilai tambah yang besar, maka ketergantungan terhadap harga komoditas dapat dikurangi.

Bahkan melihat angka pertumbuhan PDB dibandingkan dengan pertumbuhan sektor manufaktur, Indonesia mengalami gejala de-industrialisasi. Hal ini dibuktikan angka pertumbuhan manufaktur yang selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi.


 

Alhasil porsi sektor manufaktur terhadap PDB akan terus berkurang. Tercatat  sejak 2011, kontribusi industri manufaktur RI terus merosot, hingga kini tinggal 21,04%.

Artinya, pelaku-pelaku usaha cenderung lebih gencar menjual barang mentah ketimbang barang jadi.
Bila hal ini terus berlanjut, maka setiap tahunnya masyarakat harus rajin berdoa agar tidak terjadi fluktuasi harga komoditas dan gejolak perekonomian dunia.

Namun ini bukan merupakan sesuatu yang tak bisa diubah. Dukungan pemerintah untuk menggenjot sektor produksi amat sangat diperlukan untuk mendorong percepatan pertumbuhan industri manufaktur.




TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular