Komoditas Masih Jadi Kambing Hitam Defisit Neraca Pembayaran

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 February 2019 17:38
NPI keseluruhan tahun 2018 berhasil dibukukan pada posisi defisit sebesar US$ 7,1 miliar. Angka defisit tersebut terpantau merupakan yang terparah sejak 2013.
Foto: Bank Indonesia (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) baru saja merilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal IV-2018 dan keseluruhan tahun 2018.

Hasilnya agak mengenaskan.

Memang, NPI pada kuartal IV-2018 tercatat surplus sebesar US$ 5,4 miliar yang merupakan surplus pertama di tahun 2018.

Namun demikian, NPI keseluruhan tahun 2018 berhasil dibukukan pada posisi defisit sebesar US$ 7,1 miliar. Angka defisit tersebut terpantau merupakan yang terparah sejak 2013.



Salah satu penyebabnya adalah neraca non migas yang performanya melemah dibanding tahun sebelumnya.

Tercatat surplus neraca perdagangan non-migas pada tahun 2018 hanya sebesar US$ 11,1 miliar yang mana jauh berkurang daripada surplus di tahun 2017 yang mencapai US$ 25,2 miliar. Artinya surplus non migas tahun ini terpangkas lebih dari separuh tahun lalu.

Berdasarkan analisis BI, penyebab jatuhnya nilai surplus non-migas adalah turunnya permintaan global dan jatuhnya harga komoditas dunia.

Memang sepanjang tahun 2018 banyak harga komoditas ekspor Indonesia jeblok. Tercatat sepanjang 2018 harga CPO amblas 15,26%, Karet jeblok 16,26%, Tembaga merosot 20,28%, Nikel terkoreksi 16,45%, dan Aluminium anjlok 19,28%.



Untungnya batu bara, yang masih menjadi raja komoditas ekspor tanah air masih relatif stabil dengan kenaikan tipis 1,24% sepanjang tahun 2018. Bila harga batu bara jeblok juga, mungkin ceritanya akan lebih menyeramkan.

Selain itu defisit neraca migas juga bisa membuat merinding. Tercatat defisit neraca migas tahun 2018 mencapai US$ 11,5 miliar, yang mana lebih parah dari tahun 2017 yang defisit sebesar US$ 7,3 miliar.



Lagi-lagi harga minyak yang menjadi masalahnya, naiknya harga rata-rata tahunan minyak dunia memberikan beban pada perdagangan migas. Pasalnya Indonesia merupakan net importir minyak. Saat harga minyak naik, tentunya defisit akan makin membengkak.

Alhasil neraca transaksi berjalan kebobolan. Defisit transaksi berjala (CAD) sepanjang tahun 2018 tercatat sebesar US$ 31 miliar atau setara dengan 2,98% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Tercatat nilai CAD tersebut merupakan yang terparah sejak 2014.

Sama hal nya dengan nasib neraca Transaksi Modal dan Finansial (TMF) yang tercatat di posisi US$ 25,2 miliar, yang mana turun dari tahun sebelumnya yang mencapai US$ 28,7 miliar.
Nilai surplus TMF masih terbantu dengan besarnya aliran dana masuk pada pasar keuangan, seperti saham dan obligasi yang naik tajam pada kuartal IV-2018.

Tercatat surplus TMF pada kuartal IV-2018 adalah sebesar US$ 15, 7 miliar, yang mana jauh melonjak dibanding kuartal sebelumnya yang hanya US$ 3,9 miliar.

Namun perlu dicatat bahwa nilai TMF memang cenderung fluktuatif karena porsi terbesarnya masih berupa portofolio. Nilai investasi portofolio masih besar dipengaruhi sentimen eksternal yang kurang mencerminkan kondisi fundamental ekonomi.

Transaksi berjalan yang jebol dikombinasikan dengan transaksi finansial yang tak membaik wajar saja menghasilkan defisit neraca pembayaran yang masif.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Menakar Laju Kinerja NPI Q4-2019, Begini Proyeksi Ekonom

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular