Tipis! Rupiah Sedikit Lagi Sentuh Rp 14.000/US$ di Kurs Acuan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 February 2019 10:42
Tipis! Rupiah Sedikit Lagi Sentuh Rp 14.000/US$ di Kurs Acuan
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di kurs acuan. Dolar AS sudah sangat dekat ke Rp 14.000. 

Pada Jumat (8/2/2019), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.992. Rupiah melemah 0,1% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Ini menjadi depresiasi rupiah selama 2 hari beruntun di kurs acuan. Kemarin, rupiah melemah 0,22%. 

Meski begitu, rupiah masih menguat signifikan dibandingkan posisi awal tahun. Penguatan rupiah mencapai 3,38%. 

 

Di pasar spot, rupiah pun tidak berdaya di hadapan dolar AS. Pada pukul 10:06 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.980 di mana rupiah melemah 0,07%. 

Padahal rupiah belum melemah kala pembukaan pasar spot. Namun tidak menguat juga alias stagnan di Rp 13.970/US$. 

Namun itu tidak bertahan lama karena kemudian rupiah tergelincir ke zona merah, hingga saat ini. Meski pelemahannya relatif terbatas, tetapi rupiah masih konsisten bergerak ke selatan alias melemah. 


Sebenarnya tidak cuma rupiah yang melemah. Berbagai mata uang utama Asia pun tidak bisa berbicara banyak di hadapan dolar AS, seperti peso Filipina, dolar Singapura, dan baht Thailand. 

Baht menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning. Sementara rupiah walau hanya melemah 0,07% duduk di peringkat kedua terbawah klasemen mata uang Asia. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:17 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pelemahan rupiah menjadi wajar ketika melihat dolar AS yang memang sedang menguat secara global. Pada pukul 10:19 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,08%. Indeks ini sudah menguat 1,05% dalam sepekan terakhir. 

Dolar AS menjadi tempat perlindungan bagi investor yang khawatir dengan perkembangan ekonomi global. Prospek damai dagang AS-China kini dipertanyakan, setelah Presiden Donald Trump menegaskan tidak akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping dalam waktu dekat. 

"Tidak," jawab Trump atas pertanyaan wartawan apakah dia akan menemui Xi sebelum 1 Maret, mengutip Reuters. Padahal sebelumnya Trump pernah mengatakan dirinya akan bertemu dengan Xi, bahkan mungkin lebih dari sekali, untuk mengesahkan kesepakatan dagang AS-China. 


Jawaban Trump membuat pelaku pasar khawatir bahwa kesepakatan damai dagang AS-China tidak bisa dipindah ke jalur cepat. Sebelumnya  pasar punya harapan kesepakatan bisa segera terwujud, tetapi kini harapan itu pupus. 

Kemudian, investor juga cemas terhadap situasi Eropa yang memburuk. Biro Statistik Federal Jerman melaporkan produksi industri pada Desember 2018 turun 0,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yang memperkirakan kenaikan 0,7%.

Oleh karena itu, para ekonomi meramal ekonomi Negeri Panser akan mengalami kontraksi alias tumbuh negatif pada kuartal IV-2018. Jika ini terjadi, maka Jerman resmi mengalami resesi karena pada kuartal sebelumnya sudah mengalami kontraksi 0,2%. Resesi terjadi jika sebuah negara mengalami kontraksi dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. 

Tidak cuma di Jerman, aura perlambatan ekonomi menyebar ke seluruh Eropa. Komisi Uni Eropa memperkirakan pertumbuhan ekonomi Zona Euro pada 2019 sebesar 1,3%. Melambat dibandingkan 2018 yang diperkirakan 1,9%. 

Sementara Bank Sentral Inggris (BoE) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth untuk 2019 dari dari 1,7% menjadi 1,2%. Risiko terbesar bagi perekonomian Inggris saat ini adalah Brexit.

Sepetinya kemungkinan untuk terjadi No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apapun dari perceraian dengan Uni Eropa) semakin besar dan tidak bisa dikesampingkan. Setelah kesepakatan Brexit yang diusung Perdana Menteri Theresa May ditolak parlemen bulan lalu, semuanya menjadi semakin tidak jelas. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari dalam negeri, investor sedang harap-harap cemas menantikan rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia (BI) memperkirakan NPI kuartal IV-2018 bisa surplus, tetapi defisit transaksi berjalan (current account deficit) masih cukup lebar di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 


Artinya, pasokan devisa yang berjangka panjang dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa masih seret. Padahal ini adalah fundamental penting yang menyokong rupiah, dibandingkan arus modal portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. 

Dengan kondisi fundamental yang agak rentan, rupiah pun ikut rawan terdepresiasi. Investor tentu menjadi berpikir ulang untuk mengoleksi aset-aset berbasis rupiah, karena nilainya berisiko turun pada kemudian hari.

Namun ada sentimen positif yang membuat pelemahan rupiah tidak terlalu dalam yaitu harga minyak. Pada pukul 10:37 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,62% sementara light sweet berkurang 0,74%.

Penurunan harga minyak memberi harapan bahwa ke depan transaksi berjalan akan membaik. Sebab koreksi harga minyak akan membuat biaya impor migas berkurang, sehingga defisit di pos ini menipis.

Harapan perbaikan transaksi berjalan membuat rupiah masih bisa sedikit bernafas. Setidaknya rupiah tidak menjadi mata uang terlemah di Asia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular