Newsletter

Kunci Hari Ini: Pidato Trump dan Data Pertumbuhan Ekonomi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 February 2019 05:45
Kunci Hari Ini: Pidato Trump dan Data Pertumbuhan Ekonomi
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak ke selatan alias melemah di perdagangan awal pekan ini. Aktivitas pasar kurang semarak akibat Hari Kejepit Nasional (Harpitnas) jelang libur Tahun Baru Imlek.

Mengawali pekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,88%. Nilai transaksi tercatat Rp 8,13 triliun, lumayan jauh di bawah rata-rata harian sejak awal tahun yaitu Rp 10,59 triliun.


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,11% di perdagangan pasar spot. Depresiasi rupiah menipis jelang penutupan perdagangan, sehingga tidak menyandang 'gelar' sebagai mata uang terlemah di Asia.


Pasar keuangan Asia agak galau akibat kembalinya keperkasaan dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam menjadi menarik akibat rilis data ketenagakerjaan.

Pada Januari 2019, penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam mencapai 304.000. Ini menjadi angka tertinggi sejak Februari tahun lalu dan jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan tambahan 165.000.

Perekonomian AS selalu berhasil menciptakan lapangan kerja baru dalam 100 bulan terakhir. Ini menggambarkan perekonomian AS tetap menggeliat, masih bisa tumbuh kuat meski memang ada perlambatan.

Perkembangan ini membuat pelaku pasar kembali meyakini bahwa The Federal Reserves/The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan pada 2019, meski tidak seagresif tahun sebelumnya. Masih ada peluang Jerome 'Jay' Powell menaikkan suku bunga acuan setidaknya dua kali menuju target median 2,8% pada akhir tahun.

Dilandasi potensi kenaikan Federal Funds Rate, dolar AS menemukan kembali keperkasaannya. Kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di dolar AS menguntungkan, karena ekspektasi inflasi akan terjangkar sehingga nilai mata uang tidak tergerus.

Arus modal pun kembali ke pelukan dolar AS. Pada 4 Februari, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,29%.

Hasilnya jelas, pasar keuangan Benua Kuning kehilangan pasokan 'darah'. Ditambah dengan investor yang kurang bergairah karena jelang Tahun Baru Imlek, pelemahan menjadi tema besar di Asia, termasuk Indonesia.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan penguatan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,68%, S&P 500 bertambah 0,47%, dan Nasdaq Composite surplus 0,74%. 

Investor sepertinya bergairah menantikan pidato tahunan State of Union di AS yang akan dibawakan oleh Presiden Donald Trump. Salah satu isu yang dinanti oleh pasar adalah perkembangan hubungan AS-China. 

Trump berencana bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Belum ada kabar yang lebih spesifik mengenai pertemuan ini, tetapi Trump mengungkapkan bisa berlangsung lebih dari sekali. Harapan akan damai dagang AS-China semakin tebal. 

"Sepertinya kita akan melihat iklim geopolitik yang membaik. Nantinya akan terlihat bagaimana gambaran lansekap politik AS," kata Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Asset Management yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Selain itu, penguatan di bursa saham New York juga dipicu oleh laporan keuangan emiten yang memuaskan. Pada kuartal II tahun fiskal yang berakhir 31 Desember 2018, Estee Lauder membukukan laba per saham (Earnings per Share/EPS) US$ 1,74. Lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu US% 1,55. 

Bahkan untuk 2019, perusahaan produk kecantikan ini memperkirakan EPS bisa melonjak menjadi US$ 4,92-5. Lebih baik dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu US$ 4,73-4,82. 

Investor sangat mengapresiasi laporan ini. Akibatnya, harga saham Estee Lauder meroket 11,64%. 

Kemudian pelaku pasar juga angkat topi terhadap laporan keuangan Ralph Lauren. Pada kuartal III tahun fiskal yang berakhir 29 Desember 2018, EPS Ralph Lauren berada di angka US$ 1,48. Naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu US$ 1.  

Sementara pendapatan bersih tercatat US$ 1,73 miliar, naik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 1,64 miliar. Harga saham Ralph Lauren pun melesat 8,39%. 

Kemudian Walt Disney juga membukukan kinerja yang memuaskan dengan EPS US$ 1,84 pada kuartal I tahun fiskal yang berakhir 29 Desember 2018. Angka ini lebih tinggi dibandingkan estimasi pasar yaitu US$ 1,55. 

Kinerja emiten Mickey Mouse ini ditopang oleh pendapatan dari taman bermain (theme park) yang tercatat US$ 6,82 miliar atau naik 4,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan dari stasiun siaran ABC Network juga memuaskan, naik 7% menjadi US$ 1,33 miliar.  

Harga saham Walt Disney naik 0,77% kala penutupan perdagangan. Ini memperpanjang reli saham Walt Disney menjadi 3 hari beruntun. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu adalah hijaunya bursa saham New York, yang bisa memberi optimisme di Asia. Semoga bursa saham Benua Kuning mampu mencetak prestasi serupa, atau bahkan lebih baik. 

Sentimen kedua adalah pidato State of Union yang akan dibacakan Trump pukul 21:00 waktu setempat atau sekira pukul 09:00 WIB. Pidato ini terbukti menjadi pendorong penguatan Wall Street. 

Apabila Trump menyinggung soal relasi dengan China yang semakin membaik, maka pelaku pasar boleh jadi akan semakin bergairah. Aura damai dagang AS-China kembali merebak, dan ini menjadi sentimen positif yang sangat signifikan. 

Sentimen ketiga adalah harga minyak, yang bisa memberikan dorongan bagi penguatan rupiah. Pada pukul 04:57 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,8% dan light sweet berkurang 1,58%. 

Harga si emas hitam terbeban oleh rilis data ekonomi yang kurang oke di AS. Angka Purchasing Managers Index (PMI) non-manufaktur versi ISM pada Januari 2019 berada di 56,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 58 dan menjadi yang terendah dalam 6 bulan terakhir. 

Kemudian indeks kepercayaan ekonomi versi IBD/TIPP untuk pembacaan awal Februari 2019 adalah 50,3. Turun cukup drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,3 dan menjadi yang terendah sejak Oktober 2017. 

Data-data ini menggambarkan bahwa perekonomian Negeri Adidaya masih bermasalah, ada lubang di sana-sini. Ini tentu membuat risiko perlambatan ekonomi di AS menjadi semakin nyata. 

Untuk kuartal IV-2018, The Fed dalam pembacaan 1 Februari memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS sebesar 2,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan pembacaan pada 31 Januari yang sebesar 2,7%. 

Kala ekonomi terbesar di dunia, sang lokomotif, melambat, maka negara-negara lain alias gerbong di belakangnya tentu akan mengikuti. Perlambatan ekonomi global menjadi risiko yang tidak bisa dikesampingkan. 

Perlambatan ekonomi dunia berarti permintaan energi juga bakal ikut turun. Risiko ini yang membuat harga minyak tertekan. 

Namun, penurunan harga minyak adalah berkah buat rupiah. Sebab, Indonesia bisa menghemat devisa yang dipakai untuk mengimpor komoditas ini karena harganya kini lebih murah.

Artinya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan terbantu. Fundamental penyokong rupiah menjadi lebih kuat sehingga ruang apresiasi menjadi terbuka.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal IV dan keseluruhan 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 sebesar 5,12% secara tahunan (year-on-year/YoY) dan 5,15% untuk keseluruhan 2018. 


Rilis data ini menjadi penting karena bisa memberikan gambaran utuh mengenai perekonomian sepanjang 2018. Di sisi mana saja yang mengalami masalah, dan bagian mana yang justru membaik.  

Data ini kemudian bisa menjadi modal bagi pelaku pasar untuk menentukan arah pada 2019. Misalnya, apakah ada peluang ekspor bisa pulih pada 2019? Jika ada, dari mana datangnya peluang itu? Apa yang bisa dimaksimalkan oleh pemerintah dan dunia usaha untuk memperbesar peluang tersebut? 

Atau contoh lainnya, bagaimana konsumsi rumah tangga pada 2018? Apakah masih kuat? Apakah kekuatan konsumsi rumah tangga masih akan berlanjut pada 2019, mengingat pelaksanaan Pemilu? Bagaimana saham-saham sektor barang konsumsi merespons data ini? 

Oleh karena itu, sepertinya investor patut mencermati rilis data pertumbuhan ekonomi. Sebab data ini akan menjadi pegangan untuk mengukur seberapa kuat perekonomian Indonesia menghadapi 'badai' pada 2018 dan apa yang harus dipersiapkan untuk mengarungi 2019. 

Namun perlu diwaspadai apabila pertumbuhan ekonomi nyatanya tidak sebagus ekspektasi. Investor bisa saja berhitung ulang dan akan menghambat potensi arus modal yang masuk. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Pidato State of Union yang dibawakan Presiden AS Donald Trump (09:00 WIB).
  • Rilis angka Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 2018 (11:00 WIB).
  • Rilis data Neraca Perdagangan Barang dan Jasa AS periode November 2018 (20:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2018 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular