
Dari Juara Asia, Rupiah Kini di Zona Degradasi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 February 2019 09:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Bahkan posisi rupiah di klasemen mata uang Asia semakin melorot.
Pada Senin (4/2/2019) pukul 09:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.975. Rupiah melemah 0,29% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Membuka hari, rupiah sudah melemah 0,07%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam meski belum menembus level Rp 14.000/US$.
Berbagai sentimen negatif mendera rupiah. Pertama, harus diakui penguatan rupiah agak 'keterlaluan'.
Selama minggu kemarin, rupiah terapresiasi signifikan 1,03% secara point-to-point. Mata uang utama Asia lainnya juga menguat, tapi rupiah jauh lebih unggul.
Dalam periode yang sama, yen Jepang menguat tipis 0,04%, yuan China menguat 0,03%, dolar Singapura menguat 0,28%, ringgit Malaysia menguat 0,69%, dan baht Thailand menguat 0,68%. Perbedaan dengan rupiah begitu mencolok.
Penguatan rupiah yang mungkin terlalu tajam membuatnya rentan terserang koreksi teknikal. Aksi ambil untung bisa terjadi kapan saja, karena investor mencairkan keuntungan yang sudah lumayan besar.
Faktor kedua adalah harga minyak yang masih berada di jalur pendakian. Pada pukul 09:13 WIB, harga minyak jenis brent dan light swet naik masing-masing 0,21% dan 0,2%. Dalam sepekan terakhir, harga brent sudah melesat 4,92% dan light sweet meroket 6,61%.
Kenaikan harga minyak bukan berita bagus buat rupiah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini akan membuat biaya impornya semakin mahal. Defisit di neraca migas bakal semakin melebar.
Kala defisit neraca migas memburuk, maka neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan semakin parah. Ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh karena minimnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Rupiah pun berisiko melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada Senin (4/2/2019) pukul 09:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.975. Rupiah melemah 0,29% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Membuka hari, rupiah sudah melemah 0,07%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam meski belum menembus level Rp 14.000/US$.
Selama minggu kemarin, rupiah terapresiasi signifikan 1,03% secara point-to-point. Mata uang utama Asia lainnya juga menguat, tapi rupiah jauh lebih unggul.
Dalam periode yang sama, yen Jepang menguat tipis 0,04%, yuan China menguat 0,03%, dolar Singapura menguat 0,28%, ringgit Malaysia menguat 0,69%, dan baht Thailand menguat 0,68%. Perbedaan dengan rupiah begitu mencolok.
Penguatan rupiah yang mungkin terlalu tajam membuatnya rentan terserang koreksi teknikal. Aksi ambil untung bisa terjadi kapan saja, karena investor mencairkan keuntungan yang sudah lumayan besar.
Faktor kedua adalah harga minyak yang masih berada di jalur pendakian. Pada pukul 09:13 WIB, harga minyak jenis brent dan light swet naik masing-masing 0,21% dan 0,2%. Dalam sepekan terakhir, harga brent sudah melesat 4,92% dan light sweet meroket 6,61%.
Kenaikan harga minyak bukan berita bagus buat rupiah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini akan membuat biaya impornya semakin mahal. Defisit di neraca migas bakal semakin melebar.
Kala defisit neraca migas memburuk, maka neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan semakin parah. Ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh karena minimnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Rupiah pun berisiko melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Dolar AS Sedang Menguat
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular